Sunday, May 30, 2010

Riset Buset

Inilah susahnya mahasiswa kedokteran jaman sekarang, udah susah ngejalanin kuliahnya masih dipersusah lagi sama yang namanya riset. Yak riset! Salah satu hal yang harus gw lakuin sebelum lulus sarjana. Sialnya, gw masuk di angkatan kedua yang dapat kewajiban ini. Memang nggak semua dokter nantinya jadi klinisi, tapi pekerjaan periset masih nggak berkembang di negara kita selama dana yang disediakan sedikit dan ada komitmen, tanggung jawab, dan disiplin yang tinggi dari para ilmuwan. Selain itu juga aplikasi di negara ini masih sedikit.

Back on the track, singkat kata gw sebenernya mau cerita soal kelompok riset gw, bukan soal materi riset gw (karena nggak ada kemajuan yang berarti). Setelah pilih sana pilih sini akhirnya gw sekelompok sama (diurut berdasarkan abjad): Fadhil, Fatia, Maruto, Ciko - kelompok yang menamakan dirinya GemBel (singkatan dari Gemar Belajar). Topik yang diambil pun nggak kalah seru: Berbagai Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kesembuhan Pengobatan TB Menggunakan DOTS. Pembimbingnya juga nggak kalah gokil: profesor paru yang kelak jadi Dirjen di Depkes.

Mungkin yang perlu gw risetkan di sini adalah berbagai faktor yang berhubungan dengan kemunduran riset berjudul blablabla...

Gw mau cerita dari pertama. Dari segi anggota, mungkin sudah banyak yang tahu bahwa kelak kelompok ini jadi kelompok main-main, bukannya kelompok yang benar-benar 'gemar belajar'. Tradisinya, kelompok ini selalu makan bersama tiap ada yang ulang tahun, dimulai dari makan bersama di Bandar Djakarta hingga nggak kehitung jumlahnya sampai saat ini. Bahkan saking hebatnya, anggota komunitas makan-makan ini terus bertambah hingga ada julukan Kelompok Riset ++. Singkat kata kegiatannya makan-makan 90%, riset 10%. Apalagi ditambah salah satu anggota ke luar negeri buat mengulang ilmu fisiologi yang masih belum dia pahami, sehingga progress dari riset ini tersendat-sendat.

Kedua, dari segi materi. Materi riset kelompok gw sebenarnya gampang, aplikatif, dan banyak sumbernya. Bahkan kalo dicari di koleksi jurnal, sudah banyak penelitian mengenai ini tapi di negara-negara bawah seperti Gambia, Bangladesh, dll. Jadi apa yang mempengaruhi perlambatan ini? Faktor tempat penelitian di RS Persahabatan jadi soal.

Soal pembimbing juga salah dari awal. Sejak sang profesor jadi Dirjen, beliau jadi sering menjalankan tugas negara di dalam maupun luar negeri. Jadinya, kelompok riset gw juga terbengkalai.

Akhirnya, dalam sebulan terakhir ini gw dan teman-teman harus mengebut riset supaya dapat gelar sarjana. Tempat favorit selama riset adalah di rumah profesor, perpus Shiozawa, ataupun di tempat paling nyaman: Cafe Au Lait. Soal kafe ini memang paling enak, ada koneksi internet gratis, sofa nyaman, ada musola dan ada colokan listrik! Tentunya selain biar dapat gelar sarjana, juga agar bermanfaat bagi nusa dan bangsa. Semoga!

Saturday, May 15, 2010

Sedated in Anesthesiology

Halo! Ketemu lagi!! Di hari yang cerah ini, dengan bangga gw akan mengumumkan bahwa masa pembelajaran klinik tingkat 4 telah berakhir. Dan apa artinya itu? Libur! Hehehe. Bukan libur yang sebenarnya sih, tapi paling nggak bisa mengistirahatkan otak yang penat ini selama seminggu.

Sebulan kemarin ini gw masuk ke stase terakhir klinik gw di Departemen Anestesiologi dan Intensive Care. Rasanya berat banget habis forensik yang bagaikan surga masuk ke anestesi yang nuntut kerja cepet biar pasien nggak mati. Tapi begitu masuk, ternyata gw nggak rugi memilih stase ini sebagai penutup tingkat 4. Kenapa? Desain ruangan paling bagus, residen dan konsulen baik-baik, dan meteri yang aplikatif bikin gw seneng sama ilmu ini. Mungkin gw akan mempertimbangkan anestesi sebagai pilihan buat spesialis nantinya.

Untuk urusan ilmu yang aplikatif, anestesi sangatlah enak. Bayangkan dimana lagi kita belajar teori RJP pagi harinya, trus malemnya saat jaga langsung dipraktekin ke pasien serangan jantung beneran (selain di kardio tentunya). Di sini juga gw untuk pertama kalinya melakukan RJP dan defib yang berhasil. Di sini juga koass diajarin intubasi pasien secara beneran (dan ternyata emang susah!) dan juga bius-biusan. Mengenai bius-membius ini sebenernya hanya nice to know buat koass dan gw pun hanya dapat mengucap terima kasih bila ditawari untuk diajarin farmakologi obat anestesi.

Dokter anestesi sendiri juga termasuk dalam dokter yang rawan dituntut sama pasien. Gimana nggak? Pasien masuk OK dengan keadaan sehat walafiat, terus dibius, bisa aja meninggal karena nggak bisa nafas kalo dokter anestesinya dodol. Tapi secara penghasilan mungkin bisa dibilang termasuk yang tinggi. Kalo di Indonesia mungkin masih dibawah Obgyn, tapi kalo di AS berdasarkan Forbes yang paling tinggi adalah anesthesiologist dengan rerata gaji tahunan $184,340 atau sebulannya $15,000 + sisanya dibuat amal. Tapi tingkat stressnya juga tinggi, dilihat dari angka harapan hidup yang rendah. Huh!

Kegiatan di sini juga banyak diisi dengan kegiatan hiruk pikuknya jaga di ruang resus IGD dan bengong di OK, nyatetin ini, nyatetin itu, suntik ini, monitor itu. Voila, jadilah koass anestesi yang kurang kerjaan, pengantuk (karena terhirup gas anestesi), dan nggak ada semangat (karena kecipratan obat sedasi dan pingin liburan). Itulah kegiatan gw selama di anestesi. Jam terbang sedikit, jam tidur banyak.

Sekian aja liputan selama klinik tingkat 4. Bagian-bagian gede di tingkat 5 dan riset telah menunggu! Tapi bodo amat, gw mau liburan dulu. Bye!