Thursday, September 30, 2010

Awas, Batu!

(Calon) Dokter adalah pasien yang paling bandel. Ya itulah pernyataan yang gw yakini sampe sekarang, karena apa? Karena teori ini gw anut. Saat ini gw stase di Divisi Urologi Departemen Bedah, dan begitu banyaknya pasien yang datang ke poliklinik sebagian besar menderita batu saluran kemih. Sebagai individu, gw mungkin termasuk orang yang punya faktor risiko untuk itu. Tapi apa? Berkali-kali gw menasihati pasien untuk mencegah terulangnya batu saluran kemih, namun gw sendiri nggak melakukannya. Sebut saja contoh, gw minum sehari rata-rata cuma 6-8 gelas, itu pun kebanyakan minuman jadi yang hampir semuanya berpengawet. Gw banyak beraktivitas yang membuat gw banyak berkeringat. Dan yang terakhir gw kencing hanya sebanyak 2-3 kali per hari. Belum lagi ditambah dengan faktor risiko yang lain. Kayaknya hanya tinggal menunggu waktu walaupun mudah-mudahan nggak. Paling tidak, kesadaran ini cukup mahal sehingga gw masih bisa mencegahnya.

Untuk itu gw mau berbagi sedikit info tentang batu saluran kemih ini, karena saking banyaknya pasien di bedah yang hanya bisa disaingi oleh poliklinik Onkologi.

Gejala pertama yang sering muncul pada kasus batu saluran kemih adalah nyeri saat berkemih, bisa disertai dengan kencing berdarah maupun tidak, walaupun keluhan ini tidak spesifik untuk penyakit ini. Adanya riwayat kencing berpasir ataupun keluar batu dari kencing menguatkan dugaan ada batu di saluran kemih. Keluhan yang biasanya membawa pasien ke kasus gawat darurat adalah adanya nyeri kolik, yaitu nyeri yang sangat hebat, bersifat tajam (mampu ditunjuk oleh pasien lokasi nyerinya), biasanya bertahan selama beberapa jam dan kemudian hilang dengan sendirinya, dan biasanya pula disertai adanya gejala lain, seperti mual, muntah, jantung berdebar, dan berkeringat. Batu saluran kemih bisa juga menggambarkan gejala sumbatan pada saluran kemih bagian bawah, seperti kencing yang sedikit-sedikit, kencing menetes, tidak lampias dalam berkemih, dsb. Apabila memiliki gejala-gejala tersebut, segeralah konsultasi ke dokter.

Batu saluran kemih dapat diperiksa dengan berbagai modalitas, salah satu yang paling sering adalah urinalisis dan foto BNO/IVP (intravenous pyelography). Selain itu dapat juga dilakukan pemeriksaan USG ataupun pemeriksaan lainnya. Penatalaksanaannya juga dapat dilakukan dengan berbagai modalitas, salah satunya adalah ESWL (extracorporeal shock wave lithotripsy).

Untuk mencegah terjadinya batu saluran kemih perlu diperhatikan hal-hal berikut:
  1. Minum cukup. Jumlah kencing yang dikeluarkan oleh tubuh dapat diprediksi sebanyak 0,5-1 cc/kg berat badan/jam. Misalnya berat badan seseorang 60 kg, maka jumlah kencingnya 60 cc/jam atau 1440 cc/hari. Ditambahkan dengan prediksi insensible water loss melalui keringat sebanyak 500 cc/hari, maka kebutuhan cairan orang tersebut minimal 1940 cc/hari atau kurang lebih sebanyak 2 liter/hari. Oleh karena itu, dianjurkan minum air putih sebanyak 10 gelas setiap harinya.
  2. Hindari aktivitas yang membuat keringat berlebih, karena dapat meningkatkan pengeluaran air sehingga urin menjadi lebih pekat.
  3. Banyaklah kencing, paling tidak 4-6 kali per hari.
  4. Hindari makan/minum yang mengandung asam urat, teh, kopi, minuman soda, dan batasi secukupnya asupan kalsium.
Semoga postingan kali ini berguna.

Monday, September 6, 2010

(Hampir) Jadi Dokter di Tangerang

Seminggu kemarin, 7 hari tepat, gw dan teman-teman serombongan kecil gw, yang baru saja mendapat gelar sarjana, stase bedah di RSU Kab. Tangerang (RSUT) yang berjarak kurang lebih 30 km dari Jakarta. Jarak segitu bikin gw malas untuk pulang pergi Jakarta-Tangerang, selain capek di jalan tentunya juga di sana telah disediakan asrama khusus koass yang stase di sana. Di blog gw yang lalu, gw telah membahas stase di RSP maupun Harkit, sekarang saatnya RSUT.

Ini adalah stase nginep di RSUT kedua yang gw jalani, sebelumnya gw pernah nginep di sana juga saat stase di modul IGD tingkat IV. Kalo sebelumnya gw serasa anak tiri karena stase IGD seperti nggak diakui di asrama koass RSUT, sekarang berasa seperti kampus kecil karena banyak teman seangkatan dari rombongan lain yang juga stase di sini. Lagi-lagi stase di RSUT dilakuin di bulan puasa, yang mempengaruhi tingkat belajar, tingkat kemalasan follow-up, level tidur, dll. Waktu yang paling hepi tentu aja waktu buka dan saur bareng di mana semua orang sharing cerita-cerita kocak di RSUT, dari yang baru boleh nelpon dokter kalo pasien sudah kritis banget, pasien obsgyn yang datangnya ngucur terus kayak kran seakan semua orang Tangerang partus di RS ini, sampe teman yang dapet tugas mengecek ASI seluruh pasien bangsal dengan -maaf- memencet areola-nya satu-persatu. Kalo cerita menarik dari bedah, apalagi kalo bukan operasi.

Inilah enaknya stase bedah di RSUT di mana hanya ada 7 konsulen bedah dan 3 konsulen bedah orthopedi (yang semua konsulennya hampir hanya menerima laporan pasien doang) ditambah hanya 3 orang residen, di mana kesemuanya itu harus melayani seluruh kasus bedah di Tangerang dan sekitarnya. Akibatnya kesemua 6 koass bedah harus membantu 3 residen untuk melakukan hampir seluruh operasi di RS ini. Kasus apendisitis? Dateng terus tiap hari. Kanker payudara? Bejibun di bangsal. Trauma? Nggak berhenti-berhenti datang, seakan di Tangerang tiada hari tanpa kecelakaan motor dan industri. Gw yang tadinya masih bloon soal praktek bedah-membedah jadi lumayan dapat pengalaman bedah-membedah pasien beneran. Dari total 7 hari di Tangerang, gw dapat 12 kali ikut operasi dengan 5 diantaranya jadi asisten operator (co-op), sesuatu yang mustahil didapatkan di rumah sakit pusat di Jakarta. Dari yang tadinya mupeng pingin ikut sampe mabok ikut operasi.

Pernah suatu kali pasien udah diberitahu untuk operasi keesokan harinya dan disuruh puasa, eh ternyata pasiennya minum susu jam 7 pagi dan operasinya batal. Alesannya? Karena pasien kemarinnya dikasih tau untuk puasa 5 jam dari jam 12. Ada lagi pasien dengan kecurigaan peritonitis dan mau dilakukan laparotomi eksplorasi (dibuka perutnya), eh ternyata peritonitisnya nggak ada, kandung empedunya gede, dan operasi diakhiri dengan ditutup perutnya lagi tanpa diobati apa-apa. Ada lagi operasi ORIF (open reduction internal fixation) yang serasa jadi tukang karena tarik-tarikan tulang sama operatornya dan penggunaan alat-alat berat seperti bor, baut, palu, dan lain sebagainya.

Namun cerita yang paling menyentuh adalah saat gw follow-up pasien di bangsal dengan diagnosis osteosarkoma kruris (tumor tulang di tungkai) yang ukurannya sebola futsal, keluar nanah dan darah terus-menerus, bau separah gangren yang menyebar ke seluruh ruangan, dan lalat yang muter-muter di situ terus. Miris ngelihat pasien wanita usia 30-an tersebut dengan 5 anak, ditinggal suami karena penyakitnya, berprofesi di perumahan, dan sudah mempunyai kanker ganas sebesar itu, yang gw yakin sudah bermetastasis ke bagian tubuh yang lain. Gw mendengarkan cerita ibu itu dari masalah klinis hingga ke masalah pribadi keluarganya, masalah ekonomi yang dihabiskan dalam waktu nggak kurang dari 1 jam. Semoga nanti amputasi tungkai ibu tersebut hari Senin besok dapat berjalan lancar.

Singkatnya, stase di RSUT memang makin mendekatkan kita ke pasien. Mungkin bila slogan di RSP -yang gw buat- adalah "Coass First", di RSUT adalah "Coass Only" karena memang sedikitnya tenaga dokter di sana. Bahkan gw harus membuat jawaban konsul bedah mewakili residen gw untuk dokter umum di IGD, semua dengan anamnesis dan PF yang gw lakukan. Benar-benar (hampir) jadi dokter.