Saturday, December 29, 2012

Flores: Labuanbajo

Kota persinggahan terakhir yang kami kunjungi di Flores adalah Labuanbajo, Fiuuuhh... akhirnya sampai juga di ujung barat Flores setelah sebelumnya perjalanan dari Maumere. Seneng? Nggak sama sekali, karena udah deket-deket mau pulang. Labuanbajo dulunya adalah desa nelayan yang merupakan bagian dar Kab. Manggarai. Tapi berhubung perkembangan pariwisata di Pulau Komodo, kota ini mengalami perkembangan yang signifikan dan akhirnya baru-baru ini dapat jatah pemekaran kabupaten. Perjalanan Ruteng - Labuanbajo memakan waktu 4 jam dengan jalan yang lagi-lagi kelok-kelok. Jalan yang lurus cuma bagian jalan yang ada di wilayah Lembor. Untuk mencapai Labuanbajo dari Lembor harus menembus gunung lagi.

Kota Labuanbajo sendiri nggak terlalu besar. Ada bagian kota baru yang terletak lebih tinggi, di situ terletak kantor-kantor pemerintahan dan juga Bandara Komodo. Sementara kota lama yang bekas desa nelayan ada di bagian bawah. Di situ terdapat jalan 1 arah (Jl. Soekarno-Hatta) yang dimulai dari pasar ikan Labuanbajo. Suasana Labuanbajo sendiri benar-benar beda sama kota lainnya di Flores, banyak kafe, hotel, rumah makan, agen wisata dan dive, pokoknya udah seperti kota internasional karena banyaknya bule di sini. Tapi ya jangan bayangkan Labuanbajo seperti Kuta, kota ini kalo udah malam ya nggak ada aktivitas juga.

Kami sendiri nggak banyak berkesempatan eksplorasi tempat-tempat wisata di sekitar Labuanbajo, karena fokus ke kepulauan Komodo. Jadi yang dilakukan di sini adalah makaaaaan! Maklum, udah beberapa hari nggak ngerasain makanan modern. Yang pertama kami kunjungi adalah warung kaki lima yang ada di pantai sebelah pasar ikan Komodo. Namanya gw lupa, mungkin warung Jawa atau semacam itu lah. Sebenernya nggak susah nyarinya, warung ini paling jauh dari pasar ikan, dekat dengan persimpangan dari atas. Warungnya pun kalo malam paling rame. Di sini yang harus dicoba adalah ikan kerapu bakarnya, cuma 25 ribu rupiah per ekor bokk. Satu orang bisa nyantap 1 ikan bakar + nasi hangat.

Makanan lain yang kami coba adalah rumah makan Arto Moro yang letaknya di Jl. Soekarno-Hatta. Tempat makan ini ada di lantai 2, jadi harus naik tangga dulu dari depan. Menu yang ada di sini adalah semacam pecel ayam di Jakarta, atau kalo gw makannya pecel cumi-cumi. Rasanyaaa? Yah lumayan lah, semacam bayar kekangenan makanan Jawa. Nah, untuk makanan, yang paling gw rekomendasikan adalah kafe yang bernama Tree Top. Kafe ini menyajikan pemandangan sunset yang paling bagus se-Bajo. Jadi buat yang mau hangout, ngabuburit, atau yang mau romantis-romantisan tempat ini cocok. Makanannya juga bervariasi dari western, chinese, hingga Indonesia, tapi enak-enak! Coba kunjungi page-nya di Trip Advisor pasti tanggapannya positif semua. Pelayanannya pun juga memuaskan, ada biliar di lantai bawah yang bisa dipake secara gratis, restoran di lantai 2, dan lounge untuk menginap gratis di lantai 3. Ada wi-fi gratis yang cepet pula. Sebenernya gw masih belum pantes sih untuk rekomendasi tempat makan di Labuanbajo karena gw nggak nyicipin semuanya. Ada Mediterraneo dan MadeInItaly yang nyajiin makanan Italia, Paradise Bar, Bajo Bakery, The Corner, Gelato & U yang semuanya nggak sempet gw coba. Setelah gw browsing lagi sih, La Veria yang tempatnya agak jauh dari kota bisa jadi pilihan untuk makan enak :)

Untuk hotel ada banyak pilihan di kota ini. Untuk eksekutif yang mengutamakan kenyamanan tentu bisa memilih Bintang Flores atau Jayakarta. Kalo seperti kami-kami ini yang budget traveler, tentu harus pilih-pilih, bujet mentok 200 ribu per kamar per malem. Gardena sebenernya bisa jadi pilihan karena tempatnya yang enak dan ada view yang bagus dari atas, cuma waktu ke sana kamarnya penuh. Mutiara merupakan pilihan yang reasonable: kamarnya cukup bersih, harganya murah, lumayan adem, deket sama pelabuhan, dan pengelolanya ramah, cuma waktu hari pertama ke sana kamarnya udah penuh, jadi pastiin dulu untuk booking sebelumnya. Hari pertama kami nginep di Wisata yang letaknya jauh dari pelabuhan dan kamarnya gerah abis. Kalo kepaksa sih boleh aja kalo mau nginep di sana. Satu hal yang pasti, walaupun kepaksa jangan nginep di hotel namanya Matahari. Teman kami, Yudi, yang sebelumnya ketemu di Wae Rebo udah pernah nginep di sana dan simply not recommended at any cost.

Tempat wisata yang banyak dikunjungi di sana adalah Gua Cermin dan juga air terjun Cunca Rami. Cuma sayang kami nggak berkesempatan ke sana.

Bandara Komodo sendiri melayani 3 maskapai: Trans Nusa, Merpati, dan juga Wings Air. Saran gw pakailah maskapai selain Merpati, karena gw udah punya pengalaman flight gw dimajuin seenaknya dan baru dikasih tau 1 jam sebelum berangkat saat gw masih terlelap di kamar hotel. Masih mending dimajuin dan gw lagi ada di kota yang cuma sekitar 5 menit dari bandara. Ada cerita bahkan Merpati kadang-kadang juga delay penerbangan sampai keesokan harinya. Hadeeehh.

Jangan lupa juga begitu nyampe di Labuanbajo adalah cari kapal untuk di-booking keesokan harinya buat yang mau tur Komodo, atau cari dive center yang cocok buat yang mau nyelem. Satu lagi, sebaiknya siapkan duit yang cukup secara tunai di Bali. Di sana sepertinya nggak ada pelayanan kartu kredit. Dan juga ATM pun yang ada cuma ATM BRI dan BNI. Jadi buat gw yang pake bank swasta harus hemat-hemat biaya biar bisa pulang balik ke Jakarta hehehe.






Flores: Wae Rebo

Boleh dibilang, perjalanan ke Desa Wae Rebo merupakan gong dari perjalanan overland Flores dari timur ke barat kemarin. Gimana nggak? Desa ini udah mencaplok penghargaan UNESCO Asia-Pacific Awards for Cultural Heritage Conservation baru-baru ini. Kalo orang luar negeri udah menghargai desa itu, sebaliknya dengan orang negeri sendiri. Jumlah wisatawan domestik yang gw lihat di buku tamu Wae Rebo kalah jauh sama wisatawan luar. Bukan apa-apa. Kabarnya jalan menuju ke desa itu susah bukan main. Kami sih modal nekat aja maksa-maksain Pak Lexi (supir travel) untuk mau ke sana, padahal dia sendiri juga belum pernah ke sana. Hahaha, dasar bonek.

Perjalanan ke Wae Rebo hampir selalu dimulai dari Ruteng, soalnya perjalanannya sendiri lumayan nyapekin jadi disaranin istirahat dulu di Ruteng terus jalan pagi hari. Nggak lupa, kami beli bungkusan nasi padang dulu buat makan siang di tengah jalan. Dan bener, perjalanan Ruteng - Wae Rebo meliuk-liuk dengan patahan-patahan tajam. Kami beriringan sama 1 travel pasangan bule dari Swiss. Beberapa ruas jalan bahkan cuma bisa dilaluin 1 mobil. Untung jalanannya udah lumayan bagus dan diaspal, jadi nggak nyusahin kami. Ya iyalah, orang tinggal tidur di mobil doang hahaha, bahkan gw sendiri minum 2 antimo sebelum naik mobil. Sempet tidur, bangun, baca novel bentar, trus tidur lagi, bangun lagi. Singkat cerita, akhirnya kami sampai di jalanan pinggir laut, menandakan udah sampai di jalanan pesisir selatan Flores. Jalanan ini bukan jalan raya provinsi yang gede, bahkan kalo ada 2 mobil papasan salah satunya harus berhenti. Jalanan ini lumayan panjang juga. Dan yang nggak diduga-duga jalan ini makan korban ban mobil kami. Salah satu ban pecah dan ketika mau diganti ban serepnya juga kempes dan bocor alus juga. Jadilah akhirnya minta bantuan motor yang lewat buat nambalin ban ke tambal ban 'terdekat', sambil kami makan siang di pinggir laut diliatin sama anak SD yang baru pulang jalan kaki bermil-mil jauhnya. Singkat cerita lagi, tambal ban 'terdekat' itu nggak punya tubles, jadilah kita jalan dengan ban yang udah-dipompa-tapi-masih-bocor itu cepat-cepat ke tambal ban lain yang katanya punya tubles di Desa Dintor. Desa Dintor adalah desa pesisir terdekat untuk transit ke Wae Rebo. Desa ini ditandai sama adanya papan penunjuk jalan ke Wae Rebo dan juga Pulau Mules di seberangnya. FYI, kalo naik ojek dari Ruteng ke Dintor per orang kena 150 ribu rupiah.

Perjalanan Dintor - Denge nggak terlalu jauh, tapi menanjak. Desa Denge adalah desa terakhir untuk transit sebelum Wae Rebo. Pemandangan sepanjang jalan ajib banget, bahkan Pak Lexi yang orang Flores asli pun bilang pemandangannya bagus. Di Denge, kami menginap di penginapan milik Pak Guru Blasius Monta, bersama pasangan bule Swiss tadi, Michel & Maggie. Penginapan Pak Blasius itu yang satu-satunya di Denge, adanya di sebelah SDN Denge. Penginapannya sederhana banget, di depan ada beberapa kamar yang dijadikan 2 tingkat, sementara di belakang ada 2 kamar. Sebaiknya kalo peak season reservasi dulu ke Pak Blasius sebelum datang ke sana. Listrik cuma ada malam hari sampai jam 9 malam, sinyal nggak ada sama sekali, atau kalopun ada harus jalan ke kebun cengkeh yang ada di belakang rumah. Nice place to get isolated. Pak Blasius dan istrinya ramah banget, mereka selalu menekankan kalo nginap di sini anggap aja rumah sendiri. Jadi kalo butuh air tinggal ambil ke belakang, kalo butuh air panas boleh masak sendiri pake kompor kayu, kalo mau teh/kopi tinggal minta. Bahkan Bu Blasius nawarin ke gw untuk nyembelih ayam sendiri buat makan malam karena dia ngehormatin tamu-tamunya yang muslim. Sore hari, gara-gara ngantuk gw udah abis di perjalanan, gw emilih untuk main-main ke SDN Denge ngelihat anak-anak SD yang main sore. Hmmm... mengingatkan gw akan enaknya masa kecil yang nggak perlu mikir apa-apa. Malam itu kami habisin dengan ngeliatin sunset di halaman rumah, ngobrol sama supir, sama bule, sama Pak Blasius, makan malam pake ayam sembelihan sendiri, yah pokoknya melupakan semua masalah hahaha.

Perjalanan Denge - Wae Rebo harus dilakukan dengan trekking, nggak ada cara lain. Pak Blasius bilang jalannya enak kok, butuh sekitar 3,5 jam untuk sampai ke Wae Rebo. Denge ada di ketinggian 500 m sementara Wae Rebo ada di ketinggian 1.200 m. Kami berangkat pagi-pagi dianterin sama porter yang udah dipesen sama Pak Blasius sebelumnya. Soalnya kami berencana turun siang hari dan sore udah nyampe di Ruteng lagi. Perjalanan dimulai dari SDN Denge ke arah bukit belakang sekolah. Rute pertama melewati kebun-kebun, aliran sungai, dan penuh sama batu-batu di tengah jalan. Etape ini udah bikin ngos-ngosan karena batunya yang gede-gede. Rute kedua udah nggak ada bebatuan lagi tapi bener-bener panjang dan seperti jalan tiada akhir. Kemiringannya sih nggak seberapa, paling curam cuma sekitar 30 derajat. Pos dua ditandai dengan adanya tebing berpagar yang dari situ bisa dapat sinyal si merah. Perjalanan dilanjutkan dengan menanjak lagi sampai akhirnya keliatan ada ujung atap Mbaru Niang yang mulai nongol. Nah dari situ perjalanan menurun sampai ke Desa Wae Rebo, melewati kebun kopi milik warga.

Sesampainya di Wae Rebo setelah 3,5 jam jalan, hal yang pertama harus dilakukan sebagai tamu adalah minta ijin ke tetua adat di sana, simbolis pake duit. Setelah diijinin baru boleh keliling desa, yang mau istirahat ada Mbaru Niang khusus untuk tamu. Di sana disajiin kopi robusta asli Wae Rebo yang rasanya memang mantap untuk ngusir capek setelah trekking. Warga sana cukup welcome untuk menyambut para tamu, yang hari itu cuma ada 7 orang: kami berempat, pasangan bule Swiss, dan seorang traveller photographer dari Jakarta yang ternyata sebaya sama kami bernama Yudi. Kami baru tahu juga kalo di Wae Rebo bisa nginep juga, tentu dengan tarif beda. Kalo seperti kami yang cuma singgah sehari dikenakan 100 ribu rupiah per kepala, kalo yang nginep dikenakan 225 ribu rupiah per kepala. Sayangnya hal ini ngak sebanding sama makanan yang disajikan di sana, kami cuma dapat nasi, mie goreng, dan tumis sayur di sana. Sejauh ini di Wae Rebo merupakan expense termahal selama di Flores. Sampai siang kami bercengkerama sama penduduk lokal, tanpa lupa kebiasaan sosialita, ambil foto-foto ciamik untuk dipamerin begitu nyampe di Jakarta. Selepas siang, kami harus segera turun ke bawah soalnya langit udah mulai gelap. Kalo turun gunung barengan sama hujan, bakal lama nyampe di Denge.

Perjalanan turun memang lebih cepat. Tapi ngebayangin harus jalan turun gunung lewat jalan yang dilewatin saat naik tadi lumayan bikin mual. Gw nggak terlalu suka lewat jalan yang sama kalo turun gunung. Belum lagi gw kena serangan lintah 4 kali selama perjalanan turun ini, alhasil kaki gw merah kehitaman gara-gara darah sendiri. Perjalanan turun ini 'cuma' 3 jam saja. Sesampainya di rumah Pak Blasius sore hari, langsung disajiin lagi kopi Wae Rebo yang nikmat itu dan bersiap untuk jalan ke Ruteng biar nggak kemaleman. Pak Lexi udah fresh habis istirahat seharian.

Perjalanan turun dari Denge ke Dintor menyajikan pemandangan yang lagi-lagi spektakuler, jalanan lurus turun ke bawah dengan panorama Pulau Mules di kejauhan dengan latar belakang langit sore. Perjalanan Dintor - Ruteng kami tempuh lewat jalan yang berbeda, menembus gunung tapi lebih cepat. Nggak disangka jam 7 malam kami udah tiba di Ruteng dan siap untuk petualangan berikutnya.

Untuk detil tentang Wae Rebo bisa mengunjungi sini, sini, dan sini.

Untuk menghubungi Pak Blasius, cukup SMS ke +6281339350775

Sunday, December 23, 2012

Flores: Bajawa & Ruteng

Perjalanan selanjutnya dimulai dengan perubahan pola transportasi geng Flores (kami berempat) dari yang sebelumnya pake transportasi umum ke perjalanan pake travel. Sebenernya bukan kami yang menginginkan perubahan itu, tapi gara-garanya ada travel dengan base di Labuanbajo yang lagi ada di Maumere dan butuh penumpang buat balik ke Labuanbajo biar nggak rugi. Dan hebatnya, si supir travel itu bisa tahu lokasi persis kami di Riung hanya dengan nanya-nanya orang di Moni. Singkat kata, jadilah kami nge-deal supir travel itu buat ke Labuanbajo dengan waktu selama 4 hari dengan harga 500 ribu rupiah perhari nett, udah nggak perlu mikirin bensin, makan supir, nginep supir, dsb. dan hanya tinggal nempelin badan di kursi. Tentu udah dengan perhitungan kalo kami berempat naik angkutan umum sampai ke Labuanbajo total cuma hemat 200 ribu dibandingin sama naik travel. Bingung? Nggak usah dipikirin.

Oke, perjalanan selanjutnya ke kota Bajawa disupiri Pak Lexi yang ternyata dari Riung lumayan jauh, melewati jalanan yang lagi-lagi berkelok-kelok dan jalanan yang aspalnya setengah jadi. Kira-kira butuh waktu 3 jam perjalanan Riung-Bajawa. Bajawa sendiri adalah kota yang letaknya di tengah Flores dan terkenal berhawa paling dingin. Sebenernya tempat wisata di Bajawa juga nggak terlalu banyak, cuma pemandian air panas yang kami skip karena keterbatasan waktu, dan juga yang paling terkenal adalah desa wisata Bena.

Desa Bena sendiri butuh waktu setengah jam perjalanan dari Bajawa. Untuk mencapai ke sana kalo nggak pake travel bisa menggunakan angkutan umum atau ojek. Sebelum masuk ke desa, wajib nulis buku tamu dulu sambil ngasih uang sukarela. Kemudian bisa keliling-keliling desa sepuasnya, motret-motret, atau berburu kain tenun khas Bena. Objeknya lumayan menarik, ada batu-batu menhir besar di tengah desa yang dipake untuk pemujaan, ada kuburan-kuburan batu, ada ibu-ibu yang lagi menenun, dan banyak lagi lainnya. Dari puncak tertinggi di Bena, kita bisa lihat pemandangan gunung-gunung di sekitar Bajawa hingga pantai selatan Flores. Cukup menyenangkan!

Selepas dari Bena, mampir sebentar di Bajawa untuk isi bensin dan makan. Lagi-lagi pilihan makanan di Flores itu kalo nggak seafood, makanan Padang, atau makanan Jawa. Abis makan, cabut lagi ke kota selanjutnya Ruteng dengan waktu perjalanan 4 jam, itu pun dengan ngebut banget ala Pak Lexi.

Ruteng adalah kota favorit gw di Flores. Gimana nggak? Kotanya relatif lebih lengkap daripada kota lainnya di Flores, udaranya adem sepanjang masa kadang-kadang berkabut, letaknya di kaki gunung, lalu lintasnya juga tenang-tenang aja, pokoknya tipe kota yang tenang buat ditinggali tanpa stress. Ruteng sendiri adalah ibukota Kab. Manggarai dan terkenal sebagai pintu gerbang ke tempat-tempat wisata di sekitarnya yang lumayan banyak. Sayangnya, selepas jam 7 malam, kota ini seperti kota mati. Kami baru berkesempatan keliling wisata di sekitar Ruteng hanya ke 2 tempat wisata: sawah spider-web dan gua Liang Bua.

Sawah spider-web letaknya sekitar seperempat jam dari kota Ruteng. Letaknya gw sendiri nggak tau ada di mananya karena pake supir travel ke sana. Untuk mencapai pemandangan sawah, dibutuhkan naik bukit yang nggak terlalu tinggi dan kemudian hamparan sawah dengan pola sirkular terbentang di depan. Di belakang, panorama Ruteng dengan gunung di belakangnya. Berhubung tempatnya cukup terjangkau, direkomendasikan ke daerah ini.

Sementara Liang Bua terletak sekitar setengah jam dari Ruteng. Setelah jalan yang lagi-lagi berkelok-kelok Liang Bua ditandai dengan adanya gerbang selamat datang. Dari situ di sebelah kanan terdapat musium untuk edukasi tentang gua ini, berhubung tempat ini adalah tempat ditemukannya manusia hobbit dari Flores Homo floresiensis, yang katanya sempat mengguncang dunia perarkeologian. Nggak jauh dari musium terdapat pintu masuk gua yang lebar. Di dalem gua sih sebenernya nggak ada apa-apa, cuma bisa lihat tempat tinggalnya manusia primitif jaman dulu. Kalo ke Flores dalam jangka waktu terbatas, sebaiknya nggak usah ke tempat ini. Tapi kalo waktunya lama seperti kami-kami ini, boleh juga ke sana soalnya tanggung udah jauh-jauh pergi.

Pilihan penginapan dan restoran di Ruteng juga terbatas, nggak seperti di Labuanbajo.Untuk penginapan kami menginap di Susteran Maria Berduka Cita (MBC) yang tempatnya nyaman abis dan yang penting ada air panasnya. Jangan harap bisa nginep dengan enak di Ruteng tanpa air panas. Bahkan katanya kalo ada menteri yang nginep di Ruteng, dia akan nginep di susteran ini. Untuk makanan, selain restoran Padang tentunya, bisa dicoba restoran Pade Doang atau restoran Agape yang jual variasi makanan yang lumayan banyak. Bahkan di Ruteng, kami sempet coba kedai pizza yang tentunya nggak bisa ditemukan dari perjalanan Maumere ke Ruteng sebelumnya.

Sunday, December 16, 2012

Flores: Riung

Jadi pilihan ke Riung itu sebenernya nggak diduga-duga sebelumnya. Dari hasil riset itinerary sebelumnya untuk mencapai Riung itu harus lewat kota Bajawa. Ternyata baru di Moni kami tahu kalo bisa langsung jalan dari Ende ke Riung tanpa harus lewat Bajawa, dan tentu jarak tempuhnya lebih pendek. Nah masalahnya angkutan dari Moni ke Riung itu katanya harus pake angkutan Moni-Ende dulu, trus pindah terminal di Ende, baru naik angkutan ke Riung yang katanya terakhir jam 10 pagi dari Ende. Sementara itu, jam 9 pagi kami masih santai-santai di teras Pak John. Alternatif kalo nggak mau pilihan itu adalah langsung ke Bajawa naik angkutan dari Moni yang katanya datang siang hari, dari situ baru naik angkutan ke utara ke arah Riung. Bingung nggak? Sama.

Buat yang belum tahu, Riung itu adalah kawasan wisata pantai yang ada di Kab. Nagakeo di sisi pantai utara Flores. Memang kawasannya sendiri masih dalam pengembangan dan jauh dari jalan utama lintas Flores sehingga turis yang ke sana juga baru dikit. Denger-denger sih pantainya masih bagus, obyek wisata yang dijual adalah taman laut yang terdiri atas 17 pulau. Hmm menarik.

Si tengah penimbangan mau naik yang mana di terasnya Pak John, tiba-tiba ada tukang ojek yang ngasih tau kalo ada angkutan yang langsung ke Mbay, ibukota Kab. Nagakeo. Dari situ bisa naik angkutan ke Riung yang katanya cuma 15-20 menit dari Mbay. Begitu gw tanya angkutannya seperti apa, eh dia udah nunjuk di depan rumah. Waduh! Dengan keadaan belum packing, belum mandi, angkutannya udah nongol depan hidung aja. Tenang aja katanya, bisa disuruh nunggu, apalagi buat turis lokal seperti kita ini yang jumlahnya 4 orang. Si supir awalnya minta 120 ribu per orang, setelah ditawar jadi 90 ribu per orang. Setelah panik-panik packing dan gw nggak sempet mandi sejak dari Jakarta akhirnya naiklah kita ke bis antar kota tersebut.

Bentukan bis itu mirip elf, cuma isinya bisa macem-macem. Yang turis cuma kami berempat dan dapet kursi nyaman di bangku belakang. Penumpang lain harus rela berdesak-desakan duduk di tengah. Supirnya beda 180 derajat sama supir travel sebelumnya: ugal-ugalan, kenceng, dan pastinya bikin mabok. Untung gw udah minum antimo 2 biji sebelum berangkat. Lagu yang disetel juga lagu yang nge-beat dengan bass speaker  yang adanya di bangku belakang. Makin komplit lah penderitaan perjalanan ini. Jalanan berkelok-kelok Moni-Ende memang bikin puyeng, untung bis itu berhenti di Ende buat makan siang di restoran Padang.

Akhirnya setelah muter-muter lagi sampai juga di terminal Mbay sekitar jam 2 siang. Jangan bayangin terminalnya mirip terminal bis di Jawa. Setelah angkotnya nunggu penumpang juga akhirnya cabut ke Riung yang katanya cuma 15-20 menit itu dengan harga 15 ribu per orang. Pret! Perjalanan ke Riung butuh waktu 1 jam lebih. Sore hari barulah nyampe ke kecamatan yang bernama Riung. Setelah menimbang-nimbang, mikir-mikir bujet juga kami memilih hotel Bintang Wisata.

Nggak ada hiburan di Riung ketika sore sampai malam hari. Hotel kami pun nggak ada TV-nya. Semua hotel yang kami tinggali di Flores juga nggak ada TV-nya karena sedang dalam budget travelling. Jadi kalo malem di Riung, yang dilakukan adalah ngumpul di rumah makan Padang satu-satunya di daerah itu yang dimiliki oleh Uda Burhanis sambil ngobrol-ngobrol nggak jelas, ngomongin itinerary, dan hal-hal nggak penting lainnya. Wisata di Riung paling bagus dilakuin seharian dengan nyewa kapal seharga Rp 250 ribu sepuasnya buat keliling taman laut Riung. Uda Burhanis juga yang ngajarin biar hemat konsumsi di atas kapal, yaitu dengan beli nasi bungkusnya buat dimakan siang hari. Dasar orang Padang memang otak bisnisnya jalan.

Pagi hari, setelah beli nasi Padang, kami jalan kaki ke dermaga. Malam sebelumnya gw udah ngehubungin salah satu pemilik kapal yaitu Pak Adam. Nah buat perjalanan kami ini dinahkodain sama Mas Abri. Tujuan pertama ke Pulau Tiga. Pulau Tiga ini terkenal dengan spot surfingnya di pinggir pantai. Oke, jadi kami nyebur sepuasnya di sana. Lumayan bagus. Kami bisa nangkap ikan fugu buat dimain-mainin, ketemu sama lionfish, dan beratus-ratus starfish. Karang-karangnya masih perawan karena jarangnya turis ke sana.

Tujuan selanjutnya adalah Pulau Rutong. Pulau ini adalah pulau yang berbukit, jadi agendanya adalah trekking ke atas bukit. Rutenya sih nggak jauh-jauh amat, cuma berhubung panas terik jadinya butuh tenaga lebih. Tapi begitu sampai di atas pemandangannya Subhanallah. Jernih birunya laut Riung kelihatan dari puncak ini dengan latar belakang lanskap Pulau Flores. Setelah berpuas-puas trekking dan tentunya renang lagi di Pulau Rutong, baru kami jalan ke taman laut di dekat Pulau Bakau. Nah di taman laut inilah tempat snorkling yang paling ajib. Karena tempatnya bukan di tepi pantai, tapi di benar-benar di tengah laut dangkal, keanekaragaman ikannya sungguh bagus. Sangat direkomendasikan buat snorkling di sini.

Nah menjelang sore baru kami bertolak ke Pulau Kelelawar yang agak jauh. Sebenernya udah capek juga tapi masih penasaran sama Pulau Kelelawar. Di sini jutaan kelelawar masih tidur menggantung di dahan-dahan pohon bakau. Dengan sedikit gangguan mesin kapal sama tepukan tangan, jutaan itu kaget dibangunin dan langsung terbang nggak tentu arah cari tempat yang lebih tenang. Dengan kami cuma satu-satunya turis di sana tentunya pemandangan itu sangat eksklusif.

Dengan ini, gw simpul dan sarankan bahwa Riung termasuk tempat wisata yang nggak boleh dilewatin selama ke Flores. Terima kasih.

Flores: Moni & Kelimutu

Perjalanan dimulai dari Jakarta, transit di Denpasar, lanjut ke bandara Frans Seda (Waioti) Maumere sore. Maumere sendiri adalah kota paling gede sejagat Flores. Tentu jangan dibandingin sama Jakarta. Hal pertama yang harus dilakukan sebelum nyampe Maumere sebenarnya adalah pastikan moda transportasi apa yang akan membawa anda ke pusat kota. Jangan kayak kami berempat, begitu nyampe di bandara langsung bingung mau ngapain. Alhasil langsung dikerubutin sama agen-agen travel. FYI, di sana nggak ada taksi. Jadi pilihannya adalah travel, ojek atau naik angkot ke pusat kota yang harus jalan dulu lumayan jauh ke gerbang depan bandara. Oke karena nggak ada pilihan, travel minta 50 ribu rupiah buat nganter dari bandara ke pusat kota. Sebenernya dia sanggup nganterin pake Innova ke Moni seharga 500 ribu, tapi bujet kami nggak sanggup.

Entah ditipu apa nggak, dia nganterin cuma sampe deket gerbang depan bandara. Sebenernya nggak ditipu juga sih soalnya dia cariin travel yang nganter penumpang ke Moni. Tapi perbandingan harga dan jaraknya mahal amet! Yasudahlah yang penting dapat angkutan ke Moni. Travel ini harganya Rp 70 ribu per kepala naik mobil Avanza dengan penumpang 7 orang. Supirnya the best, jalan dengan penuh kehati-hatian, sangat nyaman, nggak bikin mabok, walaupun jalanan Maumere ke Ende via Moni itu terkenal meliuk-liuk dan banyak longsor. Sekitar jam 9 malem nyampe di Moni setelah sempat singgah ke peristirahatan di tepi jalan, dan nginep di homestaynya Pak John yang direkomendasiin sama adek kelas yang trip ke sini sebelumnya. Kamarnya nyaman, bednya asik, kamar mandinya standar, Pak John-nya ramah banget. Sebaiknya kalo mau ke Kelimutu berangkatnya pagi hari abis subuh. Kayaknya ini nasihat yang agak salah.

Jadi subuh-subuh kami naik ke Kelimutu ditemenin ojek seharga 70 ribu per ojek pulang pergi. Satu-satunya hal berguna dari bawa jaket di trip ini adalah untuk naik ke Kelimutu ini karena anginnya emang dingin bener. Gw nggak bisa nikmatin pemandangan jalan ke puncak gara-gara sibuk berurusan sama dingin. Sampai di gerbang taman nasional, bayar untuk kendaraan, orang dan kamera yang menurut gw murah banget lalu ditemenin ojek lagi sampai ke parkiran. Nah dari parkiran baru jalan kaki sampai ke summit.

Kelimutu sendiri ada 3 danau yang namanya susah banget dilafalin dan nggak mungkin dihafalin juga. Katanya sih ya, ada danau yang warnanya biru turquoise, ada yang hijau lumut, ada yang coklat kehitaman. Gw sih percaya aja belum ngeliat, cuma ngeliat lewat duit goceng pas masa kecil dulu. Eh begitu  ngeliat sendiri bener lho. Hebat ya yang ngasih tau gw! Dan dengan begitu gw juga tau kalo gambar yang ada di duit goceng dulu itu bohong. Danaunya nggak berjejer 3 berbarengan, tapi danau yang coklat kehitaman itu ada di sisi yang berbeda sama 2 danau lainnya.

Katanya juga nih ya, Kelimutu itu tempat baliknya roh-roh orang Flores. Nah kalo yang ini gw masih belum percaya soalnya gw nggak ngelihat ada 1 roh pun yang lagi melayang-layang ke arah danau.

Jadi setelah puas berkeliling kompleks danau dan foto-foto (itu yang terpenting!) kami pun balik ke parkiran. Soal foto-foto, kami pun menemukan istilah sesi foto baru yang dinamain socialita, yaitu foto pake blackberry masing-masing buat diupdate dan membuat iri teman lainnya, yang tradisi ini berlanjut terus sampai akhir trip. Di parkiran mau nggak mau kami harus mampir ke salah satu warung soalnya kami satu-satunya turis yang datang pagi itu. Ternyata nyobain kopi di sana rasanya enak gila. Kopi Flores memang top. Setelah minum nyemil sebentar kami harus cepet-cepet turun ke Moni lagi soalnya belum packing dan belum tau harus naik apa ke tujuan selanjutnya. Bahkan tujuan selanjutnya pun masih abstrak.

Di Moni, hasil nanya-nanya lagi sama Pak John dan bapak-bapak ojek yang baik hati masih belum tau juga cara nyampe ke tujuan selanjutnya. Pilihannya 2: ke kota Bajawa atau ke pantai Riung, tergantung faktor ekonomis, jarak tempuh, sama ada atau nggaknya angkutan yang praktis dari Moni. Dua-duanya pasti lewat kota Ende. Inilah enaknya backpacking, bisa nentuin sendiri ke mana tujuan selanjutnya.

Monday, December 3, 2012

Flores: Preambule


Yak saatnya untuk berbagi perjalanan gw kemarin. Tujuan liburan gw kemarin adalah ke Flores. Yah, masih banyak orang Indonesia sendiri yang nggak tau Flores itu ada di mana. Padahal sekarang ini pulau itu adalah salah satu fokus promosi wisata Indonesia ke luar negeri. Menurut gw yang baru aja ke sana, sangat worth untuk menjadikan Flores tujuan wisata karena beberapa alasan. Landscape  Flores bener-bener beda banget sama yang ada di Jawa atau Bali. Pulau itu juga menawarkan wisata gunung dan laut secara komplit. Wisata budaya di sana juga nggak kalah menarik. Yah, yang kurang di Flores mungkin cuma wisata kuliner karena orang Flores boleh dibilang nggak punya makanan khas. Tapi itu nggak mengurangi keelokan Flores, seperti artinya sendiri yang berarti bunga. Apalagi tahun depan juga bakal diadakan Sail Komodo 2013, jadi be prepared  untuk menyiapkan perjalanan kalian ke sana!

Liburan gw kemarin berlangsung selama 12 hari 11 malam. Dengan jangka waktu segitu, liburan sekarang jadi perjalanan gw terlama di dalam negeri, di luar mudik tentunya. Seperti sebelum-sebelumnya para pionir perjalanan ini riset kecil-kecilan dulu dan nyiapain itinerary yang pas, serta mulai ngajak orang-orang yang mau berpetualang. Yak, berpetualang! Karena perjalanan ke Flores jangan diharapkan bisa menikmati akomodasi dan transportasi yang enak. Singkat kata, yang mau ikut harus backpacking. Setelah tarik ulur nawarin kesana-sini hampir sebulanan, jadilah yang terkumpul cuma 4 orang, yaitu Fadhil, Fatia, dan Dina.

Walaupun itinerary udah mateng, persiapan sebelum perjalanan pun nggak kalah ribet tapi seru. Tentu packing itu bagi gw termasuk yang paling ribet. Stok obat gw di perjalanan yang sekarang tergolong yang paling banyak. Belum lagi kami nggak booking transportasi atau penginapan yang bakal didiami lebih dulu. Singkat kata, ini bener-bener perjalanan yang mungkin bakal banyak perubahan di tengah jalan. Tiket pesawat demi hemat bener-bener dibeli beda maskapai biar jatuhnya yang paling murah.

Total biaya perjalanan untuk 12 hari ini cuma sekitar 6-7 juta rupiah. Relatif lebih murah dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan kalo bepergian ke daerah lain di Indonesia.

Hmmm... untuk perjalanannya gw bingung mau gw ceritain seberapa banyak. Hahaha! Mungkin nanti akan gw bagi ke beberapa postingan dan agak panjang. Jadi jangan bosan-bosan untuk ngikutin blog gw.

Wednesday, October 31, 2012

Seminggu Lagi

Seminggu lagi...

Seminggu lagi internship selesai, dan masa depan keliatannya nggak jelas.
Ada temen gw yang mau sekolah lagi ambil spesialisasi langsung.
Ada temen gw yang rencana mengabdikan diri buat PTT di daerah.
Ada temen gw yang mau sekolah ambil master di luar negeri.
Ada temen gw yang ambisius nyaplok kerjaan di klinik sana klinik sini.
Ada temen gw yang udah daftar magang aja di departemen.
Ada temen gw yang niat kerja rodi di perusahaan walaupun ditempatin di daerah yang ganas.
Ada temen gw yang niatnya malah wiraswasta aja.
Ada temen gw nggak jelas juntrungannya.

Ya seperti gw ini, mikirnya liburan dulu...
Oooh, I need holidays so badly...

Nantikan liputan liburan di blog ini.

Thursday, October 18, 2012

Macet Panjang di Jalan Tol

Anda pernah kena macet di jalan tol sekitar Jakarta? Tenang, anda tidak sendiri. Hampir semua orang pernah mengalaminya. Macet itu jelas nyebelin, bikin semua rencana hancur berantakan gara-gara ngaret. Kadang-kadang orang suka bingung macet yang ada di depan itu panjang atau nggak. Nah, berdasarkan pengalaman pribadi, gw akan mencoba mangajukan kriteria diagnosis macet panjang di jalan tol.

  1. Ada truk kontainer yang menyalip lewat bahu jalan.
  2. Ada minimal tiga truk kontainer yang jalan di tiga lajur yang berbeda untuk saling menyalip.
  3. Anda menghabiskan waktu minimal dua jam untuk berkendara sejauh 10 km.
  4. Ada perbaikan jalan minimal di satu lajur.
  5. Ada minimal lima kendaraan yang berganti lajur tiba-tiba dalam rentang jarak 50 meter.
  6. Ada pembentukan lajur baru kendaraan di atas marka jalan.
  7. Anda menghabiskan waktu minimal satu jam dari tanda "Gerbang Tol xxxx - 1 km" ke gerbang tol yang dimaksud.
  8. Anda mendengarkan dua lagu yang sama di radio yang sama dalam perjalanan dengan jarak 100 km.
  9. Adanya penampakan minimal satu penjual minuman di tengah jalan.
  10. Anda mampu menghabiskan semua artikel di laman utama m.detik.com atau m.goal.com dalam perjalanan dengan jarak 100 km.
Apabila minimal dua dari kriteria-kriteria di atas terpenuhi, maka dipastikan anda sedang terkena macet panjang di jalan tol.


* Terima kasih untuk: macet di hari Kamis yang menginspirasi gw; stase puskesmas pembantu yang meliburkan dokter di hari Kamis sehingga gw magabut; dan koneksi wifi puskesmas Setu 1 yang kenceng

Sunday, October 14, 2012

Tragedi Nasi Goreng

Sudah sewajarnya gw sebagai orang Indonesia aseli menyukai masakan Indonesia aseli juga. Beneran. Mau makan di hotel bintang lima sekalipun yang all you can eat, tetep makanan yang paling pas di lidah gw adalah menu Indonesianya.

Salah satu makanan Indonesia favorit gw adalah nasi goreng. Alesannya simpel: gw nggak perlu ribet-ribet makan nasi pake lauk dan sayur kalo gw makan nasi goreng. Sebenernya nasi goreng itu mungkin asli Cina, yang menyebar ke Asia bagian lainnya dan jadi makanan favorit di negara masing-masing. Personally, gw paling suka nasi goreng merah yang asalnya dari Malang atau Makassar. Varian nasi goreng lainnya juga gw suka.

Maka oleh karena daripada itu, pas gw main-selepas-kerja bareng teman-teman gw di salah satu mall elit di Jakarta, gw memesan nasi goreng. Kebetulan restorannya cukup kelihatan mewah dan enak buat ngumpul bareng. Restorannya sendiri mengandalkan menu bawang putih sebagai temanya, hmmm penasaran, gw sendiri adalah salah satu fans berat bawang putih. Teman-teman gw udah pada mesen dan katanya makanannya enak-enak. Definisi makanan yang gw pesen kayak gini: special fried rice with garlic pickles, shrimp, and asparagus. Ditambah lagi dengan tanda khusus chef recommendation di belakangnya. Oke, pesanan diminta, dibuat, dan diantar dan voila keluarlah makanan yang bentukannya seperti gini:



Buat gw yang udah mencicipi berbagai nasi goreng yang rasanya enak-enak, menurut gw rasanya standar. Malah cenderung aneh agak asem (bukan awesome) gara-gara ada acar bawang putih yang nyampur di dalemnya. Protein yang ada di dalem nasi goreng cuma 4 ekor udang berukuran sedang, sisanya cuma sayuran belaka.

Mau tahu berapa harganya? Rp 110.000,00 belum termasuk pajak restoran dan service charge.

Gw sendiri nggak masalah sekali makan buat gw ngehabisin duit segitu, tapi untuk sepiring nasi goreng??

Oh meeen... Dibandingin sama nasi goreng chinese food yang ada di Setu, Bekasi rasanya hampir sama. Dibandingin sama nasi goreng yang dijual restoran Cina yang ada di mall yang sama dan lebih murah rasanya beda jauh. Jangan dibandingin sama rasa nasi goreng merah berharga Rp 7.000,00 yang dijual di jalanan seantero Malang.

Gw jadi inget ada istilah menu nasi goreng yang dijual di deket kampus gw dulu di Salemba, si penjual menamakan menunya nasi goreng santri. Isinya cuma nasi + sayuran. Konon dinamakan santri gara-gara makanan para santri di pesantren emang rata-rata cuma nasi + sayur nggak pake protein. Nah, menu nasi goreng bawang putih yang gw pesen barusan rasanya hampir sama, agak plain, isi sayuran (bedanya si kangkung diganti sama si asparagus), dan ditambah sama 4 ekor udang.

Tuesday, September 25, 2012

1 Tahun Menjadi Dokter

Kemarin tepat setahun gw telah menjadi seorang dokter. Dan masa sekarang ini adalah masa yang tepat untuk berkontemplasi perjalanan setahun ini dan ke depannya.

"Devotio non mox promissio."
"Pengabdian bukan sekedar janji."

Itu kalimat yang diucapkan gw dan teman-teman saat disumpah menjadi dokter. Sebuah kalimat yang simpel, tapi setelah menjalani setahun profesi ini terasa berat untuk dijalani. Pengabdian sendiri merujuk ke Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah proses, perbuatan, cara mengabdi atau mengabdikan. Sementara mengabdi sendiri berarti menghamba; menghambakan diri; berbakti. Jadi pengabdian itu sendiri secara harfiah berarti suatu proses menghambakan diri kepada sesuatu. Tentu yang dimaksud dalam pengabdian di sumpah di atas tentu pengabdian kepada masyarakat. Kenapa gw bilang susah? Karena ternyata hidup itu tidak bisa hanya dengan mengabdi. Apalagi di zaman sekarang, menjadi dokter itu ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi dokter berurusan dengan nyawa seorang makhluk Tuhan, di sisi lain profesi dokter semakin tergradasi di mata masyarakat. Oleh karena itu pengabdian seorang dokter seakan mudah dilupakan orang, semakin kurang dihargai, namun wajib untuk dijalankan.

Jadi gw nggak heran kalo masa-masa sekarang ini banyak dokter yang dianggap 'matre' atau 'komersil'. Bukannya gw setuju dengan sikap 'matre' yang berlebihan dan tidak beralasan, namun penghargaan terhadap profesi dokter di Indonesia memang semakin menurun, in my opinion. Katakanlah, biaya kuliah kedokteran saat ini saat mahal dengan sudah menyentuh angka uang masuk Rp 100 juta di Fakultas Kedokteran (FK) swasta, jumlah FK di Indonesia saat ini mencapai 72 buah dengan tingkat kesetaraan yang berbeda-beda, jumlah lulusan semakin banyak, dan faktor lainnya; hal ini membuat kompetisi di dalam profesi ini juga makin ketat. Memang dengan jumlah penduduk Indonesia hampir 250 juta dan jumlah dokter terdaftar sebanyak 100.000 orang, rasio ini masih sangat kecil, jauh lebih kecil dari negara tetangga yang bahkan baru merdeka setelah kita merdeka. Akan tetapi jangan lupa bahwa dokter-dokter banyak yang berpusat di kota besar, terutama Jawa. Jadi menurut gw wajar saja kalo para dokter baru yang kuliah dengan biaya semahal itu berlomba-lomba untuk istilahnya 'mengembalikan modal' mereka yang telah dikeluarkan.

Itulah sebabnya pengabdian sudah semakin susah di zaman sekarang ini. Para dokter yang baru lulus saat ini diwajibkan untuk menjalani program internship oleh pemerintah. Tahukah anda berapa bayaran seorang dokter internship per bulan? Rp 1,2 juta per bulan. Itupun sempat dipertanyakan di dalam salah satu sesi sidang di komisi VII DPR mengapa dokter internship harus dibayar. Berapakah bayaran per bulan rata-rata untuk seorang dokter jaga UGD RS di masa-masa pertama dia kerja? Lebih banyak dari bayaran dokter internship namun tidak jauh berbeda. Gaji seorang dokter puskesmas? Hanya Rp 3,5 juta per bulan. Sebagai perbandingan, teman gw yang internship di negara tetangga mendapat bayaran sekitar Rp 14 juta per bulan. Gaji pertama untuk seorang insinyur yang bekerja di perusahaan? Jelas rata-rata lebih besar.

Nah, kembali ke kontemplasi. Entah kenapa gw baru melihat realitas ini di saat baru saja lulus menjadi dokter. Memang saat kuliah, dunia terasa indah, masa depan terasa cerah jika menjadi dokter. Bukannya gw berpesimis, namun gw miris melihat teman-teman sejawat banyak yang berkeluh kesah. Gw sendiri merasa bahwa pengabdian masih banyak yang bisa gw lakukan di mana dan kapanpun gw sempat. Masih banyak resolusi yang harus gw capai. Dahulu sudah berjanji, sekarang harus ditepati.

Masih sangat banyak hal positif yang bisa diambil dari dokter Indonesia. Masih sangat banyak dokter yang berniat mengabdi kepada masyarakat. Pengabdian seorang dokter yang terkecil bisa digambarkan dari kalimat seorang bijak bahwa tugas dokter adalah to cure sometimes, to relieve often, to comfort always.

Pesan terakhir gw untuk orang tua yang ingin anaknya menjadi dokter, atau untuk anak SMA yang bercita-cita menjadi dokter: berpikirlah seribu kali sebelum menceburkan diri ke profesi yang 'katanya' mulia ini.

"A journey of a thousand miles begins with a single step." - Lao Tzu

Monday, September 3, 2012

Random Call

"Dok..."

Panggilan itu sekarang udah mulai akrab di telinga gw, yah setidaknya udah hampir 1 tahun sejak lulus jadi dokter. Paling tidak panggilan itu hampir selalu dipake oleh orang-orang saat gw ada di rumah sakit atau sarana kesehatan.

Tapi ada kalanya, gw mendapat panggilan tersebut beberapa kali di tempat-tempat yang semestinya gw nggak dapet panggilan seperti itu. Ngerasa aneh? Tentu. Soalnya gw sendiri nggak terlalu suka dipanggil "dok" kalo urusannya personal atau di luar kerjaan kedokteran.

Suatu siang, saat menjalani bulan-bulan pertama internship di RSUD Kabupaten Bekasi, di pertigaan yang jauhnya 1 km dari RSUD, gw sedang jalan di pinggir jalan raya Cibitung setelah naik angkutan elf. Memang udah biasa kalo orang turun dari elf, ojek-ojek langsung ngerubungin biar mereka dapet pelanggan. Nah, di saat yang terik itulah, seorang tukang ojek tiba-tiba datang dan ngasih tawaran, "Ojek, Dok?"

Mungkin itu belum seberapa, baru-baru ini saat gw lepas dari RSUD dan udah tugas di puskesmas yang sekarang, gw mengisi bensin di salah satu pompa bensin di Cibitung saat jam 2 dini hari. Setelah ngisi, udah tinggal bayar, dan gw ngasih duit serta bilang makasih, penjaga pom bensin itu ikut nimpalin balik, "Makasih ya, Dok!"

Apa segitu terkenalnya gw sebagai dokter di Cibitung? Hanya Tuhan, tukang ojek, dan penjaga pom bensin yang tahu.

Friday, August 17, 2012

Kehidupan Puskesmas


Oke, hari-hari terakhir ini merupakan puncak kebosanan gw selama masa internship di Kabupaten Bekasi ini. FYI, gw saat ini lagi bertugas di Puskesmas Setu 1, salah satu dari dua puskesmas yang melayani warga Kecamatan Setu, Bekasi. Di sini gw bertugas bareng empat teman seangkatan gw, yaitu: dr. Citra Ariani, dr. Fatia Permata Sari, dr. Melinda Sari, dan dr. Paul Samuel Kris Manengkei. Penduduk di kecamatan ini juga cukup banyak dan bervariasi soalnya langsung berbatasan dengan wilayah Kota Bekasi. Pernah dengar yang namanya TPA Bantargebang? Nah, daerah gw ini lebih jauh dari situ. Total ada 70++ km yang harus gw jalani pulang-pergi tiap hari dari rumah gw yang ada di bilangan Tebet. Kalo masuk lewat jalan tol Jakarta-Cikampek, anda harus keluar di pintu tol Tambun sebelum menjalani hampir 10 km masuk ke dalam lagi. Desa yang merupakan wilayah puskesmas gw ini ada lima desa: Burangkeng, Cibening, Cijengkol, Ciledug, dan Lubang Buaya. Nah sudah kebayang sama demografi daerah ini? Gw akan lanjutkan ceritanya.

Balik lagi ke topik awal, gw telah mencapai puncak kebosanan selama di sini. Kenapa begitu? Karena memang sudah bosen aja (-__-"). Nggak deng. Sebenarnya banyak faktor yang berpengaruh. Pertama, gara-gara jaraknya yang super jauh dan butuh pengorbanan ekstra untuk menuju ke sana. Belum lagi jalanan di sana belum rata, masih ada yang berbatu-batu dan meminta ban mobil untuk bersabar menjalani cobaan.

Kedua, gara-gara irama kerja yang terlalu stagnan, bahkan saking stagnannya bisa dibilang terlalu santai. Secara pembagian kerja, tugas di puskesmas ini bisa dibagi ke lima bagian: balai pengobatan (BP), kesehatan ibu dan anak (KIA), posyandu/posbindu, puskesmas pembantu, dan puskesmas keliling/penyuluhan. Jadi selain dua orang yang melayani pengobatan di puskesmas, tiga orang lainnya mestinya harus kerja di luar puskesmas. Transportasi paling efektif tentu saja dengan sepeda motor, tapi syaratnya harus tahan sama panasnya udara Bekasi. Khusus untuk posyandu, tiap putaran di sini kami harus keliling posyandu yang tersebar di lima desa dan bagi-bagi gratis vitamin A dan imunisasi. Khusus untuk puskesmas pembantu yang letaknya nun jauh di Desa Ciledug, tugas di sini itu sangat super membosankan. Selain harus berpanas-panasan di jalanan yang jauh, kadang-kadang pasien di puskesmas pembantu itu cuma dua pasien/hari. Bisa dibayangkan betapa "krik-krik"-nya tugas di sini.

Ketiga, gara-gara ada kewajiban masuk tiap hari, bahkan + piket di hari Sabtu. Beda dengan di RSUD sebelumnya, jadwal gw nggak bisa gw atur sedemikian rupa sehingga jaga bisa diselingi sama liburan. Kalo sebelumnya gw bisa ambil libur hingga dua minggu, jangan harap di puskesmas itu bisa terjadi.

Keempat, gara-gara variasi pasien puskesmas yang itu-itu aja. Selama di RSUD gw bisa enjoy aja ngerjain tugas sehari-hari karena pasiennya nggak itu-itu aja. Tugas di puskesmas itu menyenangkan buat yang menyukai pengobatan preventif, tapi nggak menyenangkan buat yang menyukai pengobatan kuratif. Nggak di BP, nggak di KIA, semua pasien hampir sama: batuk pilek. Nggak heran kalo tangan gw capek nulis resep PCT, GG, CTM ke hampir semua pasien di sini. Sampai-sampai gw pingin untuk fotokopi tulisan resep yang cuma dikosongin jumlah obatnya aja, jadi gw bisa melayani pasien lebih cepat. Buat orang-orang yang haus belajar, jangan harap bisa belajar banyak penyakit di puskesmas. Puskesmas itu tempat belajar program-program kesehatan pemerintah.

Kelima dan yang terakhir, gara-gara udara Bekasi yang panas di musim kemarau ini. Awan di sini seolah bisa menipu, kadang-kadang menjelang siang awannya gelap, eeh di tengah siang matahari terik lagi. Belum lagi faktor polusi industri yang ada di kawasan Bekasi. Mungkin juga karena faktor gw memulai tugas di sini di bulan puasa, jadi udara yang panas malah bikin sedatif.

Sekian dulu aja deh, kalo ada perkembangan terbaru akan gw update di blog-blog gw yang selanjutnya. Keburu bakal mudik juga soalnya jadi gw nggak bisa berpanjang lebar di postingan ini. Selamat mudik dan selamat Idul Fitri. Mohon maaf bila ada salah, terutama kalo postingan kali ini nggak bermutu.


Wednesday, July 25, 2012

Patient Story (3)

Suatu pagi menjelang siang di poli umum RSUD Kabupaten Bekasi, seorang kakek berobat ke teman gw (seorang dokter).

Dokter: Ki, keluhannya apa?
Kakek: Ini dok, kaki saya kalo nginjek lantai rasanya dingin.

...................................


"Come on! Diagnosis, people?!" - Gregory House

Tuesday, July 24, 2012

Patient Story (2)

Saat menjelang siang, di balai pengobatan Puskesmas Setu 1, seorang pasien remaja perempuan berobat.

Gw: Kenapa neng?
Pasien: Kepala saya sakit banget nih dok kemarin malam.
Gw: Sakitnya di sebelah mana?
Pasien: Di belakang kepala dok.
Gw: Rasanya seperti ditekan gitu ya? Nggak ada sakit kepala sebelah?
Pasien: Iya dok, sampai ke seluruh kepala. Saya sih nggak pernah sakit sebelah. Saya sebelumnya udah ke 2 dokter di Jakarta dikasih beberapa obat tapi tetap aja muncul terus.
Gw: Ya udah ditensi dulu ya!

(Sambil perawat nensi pasien, gw membatin ngapain nih pasien berobat ke puskesmas ya abis berobat ke dokter swasta padahal obat puskesmas isinya ala kadarnya. Gw cuma ngasih 1 jenis obat generik)

Gw: Tensinya bagus kok. Banyakin minum aja ya. Saran saya kalo mau cek gula darah sama kolesterol. Terus ini saya kasih obat buat sakit kepalanya. Kalo mau saya resepin obat racikan biar nebus di apotik luar, soalnya obat puskesmas ya terbatas. Gimana?
Pasien: Nggak usah deh dok. Itu aja.
Gw: Kalo keluhannya masih berlanjut ke dokter spesialis saraf aja ya.
Pasien: Iya dok.

(Nggak lama kemudian)

Pasien: Dok, boleh minta surat sakit nggak?


"Beberapa pasien ujung-ujungnya surat sakit."

Sunday, July 15, 2012

8 Months in Short Story

Setelah lama gw nggak nulis blog, gw balik lagi dengan kesibukan yang baru lagi. Tepat seminggu yang lalu gw resmi dipindahtugaskan dari RSUD Kabupaten Bekasi ke Puskesmas Kecamatan Setu 1 yang letaknya sekitar 10 km lebih jauh. Jadi secara total gw harus bolak-balik sepanjang 35 km x 2 dari hari Senin-Sabtu. Belum lagi ditambah macet khas Jakarta-Bekasi yang didominasi sama truk trailer.

Macet di daerah ini memang sifatnya progresif. Dulu waktu gw pertama tugas di Cibitung, macet cuma terjadi kalo berangkat sore ke Cibitung atau pulang pagi ke Jakarta. Sekarang tambah parah. Macet pasti terjadi sebelum interchange Cikunir sama ruas Bekasi Timur-Cibitung, nggak peduli mau berangkat jam berapa. Pernah gw pulang jam 12 malam dari Cibitung ke arah Jakarta, di arah sebaliknya masih macet. Entah karena banyak perbaikan jalan, karena kecelakaan, atau gara-gara demo buruh, tapi yang pasti penyebab utamanya itu karena makin banyak mobil dan truk.

Secara umum tugas di rumah sakit itu ya gitu-gitu aja: jaga UGD, jaga poli, visit ruangan. Variasi pasiennya banyak banget dan kapasitas pasiennya kurang banget. Rumah sakit ini juga terkenal suka ngerujuk pasien gara-gara kamarnya penuh. Ya iyalah, kapasitasnya untuk pasien jaminan cuma 54 bed. Jadi maafkan gw ya pasien-pasienku, dokter-dokter yang ada di RS rujukan kalo jadi susah. Jaga UGD-nya kadang-kadang santai, kadang-kadang juga nggak bisa istirahat dari pertama masuk sampai ganti shift. Oiya, di RS ini juga dijadikan tempat pendidikan koass dari Yarsi. Dibandingkan sama kehidupan koass gw dulu, gw ngerasa kehidupan mereka jauh lebih bahagia dan minim tekanan. Dan gw juga baru ngerasa kalo pressure seorang DPJP UGD atau residen itu lebih berat dari yang gw bayangin selama gw koass dulu. Pernah teman gw kena marah-marah sama pasien sampai dilaporin ke komite medik, pernah juga debat sama pasien anggota DPRD yang sok penting, dan informed consent  ke keluarga pasien kalo pasien ini harus dirujuk, ternyata nggak segampang teorinya. Belum lagi dimarahin sama spesialis kalo konsulnya sembarangan. Mungkin itu ilmu paling berharga yang gw dapat di Cibitung.

Anyway, bila anda berkunjung ke Cibitung, jangan harapkan anda akan mendapatkan sajian kuliner yang otentik dari daerah ini. Makanan di sini hampir sama dengan Jakarta, bahkan dengan harga yang kadang-kadang lebih mahal dari standar Jakarta yang penyebabnya entah kenapa. Untuk pengunjung RSUD, jangan lewatkan untuk makan di warung Mak Gambreng yang ada di sebelah UGD. Warung ini menurut gw adalah tempat yang menyajikan makanan terenak di seluruh Cibitung. Makanannya bervariasi: lontong sayur, nasi uduk, dan nasi dengan lauk rumahan.

Bila dibandingkan dengan Cibitung, kecamatan Setu lebih pedalaman lagi. Seperti biasa, kalo gw masuk ke daerah baru salah satu hal pertama yang gw tanyakan adalah makanan apa yang enak di daerah itu. Banyak orang bilang ada warung masakan Sunda dan warung Padang yang enak di daerah dekat Puskesmas, tapi setelah gw coba rasanya nggak lebih enak dari yang ada di Cibitung. Tampaknya strategi diet bisa gw lakukan di stase puskesmas apalagi ditambah nantinya bulan puasa.

Selain hal-hal berkaitan sama internship dan makan-memakan di atas, gw juga punya kesibukan tambahan sebagai pengajar di salah satu bimbel UKDI. Itung-itung nambah penghasilan dan refresh ilmu selama masa internship. Soalnya jujur, selama masa internship kami nggak bakal dapat ilmu terbaru sebanyak masa koass. Sebenernya, di Bekasi sendiri udah terkenal sebagai kotanya klinik-klinik kecil, sehingga tawaran jaga klinik itu sangat banyak. Tapi berhubung gwnya sendiri yang males ngabisin 12 jam demi 100 ribu rupiah rata-rata, menurut gw bayaran segitu masih nggak worth dengan pekerjaannya.

Sunday, April 8, 2012

Kuliner Lagi di Jawa

2 minggu yang lalu, akhirnya libur yang gw tunggu-tunggu datang juga. Bukan libur seperti hari-hari biasa karena saat internship sebenernya banyak hari libur kalo bisa ngatur jadwal, tapi libur yang bener-bener liburan ke luar kota. Lokasinya pun agak jauh walaupun masih di dalam pulau Jawa: kota Solo. Tujuan ini dipilih karena berbagai alasan: 1. Tempat yang relatif dekat dengan Jawa Barat karena gw dan temen-temen cuma punya waktu terbatas untuk liburan; 2. Kebetulan ada temen yang lagi internship di sana; 3. Moda transportasi ke sana yang beragam, yang akhirnya memisahkan rombongan jadi 2 kloter kereta api dan pesawat; 4. Pilihan jenis wisata yang beragam, antara lain kuliner, wisata kota, wisata budaya, hingga wisata alam.

Akhirnya itinerary pula yang membawa gw selain ke Solo juga ke Jogja dan Dieng. Tapi yang tetep jadi fokus utama di itinerary itu tetep adalah wisata kuliner. Demi kuliner juga gw bela-belain diet dan riset kuliner sebelum liburan untuk persiapan dan hasilnya berat badan gw naik 2 kg selama liburan. Berikut ini daftar makanan yang gw hajar selama liburan kemarin:

1. Gudeg ceker Bu Kasno
Ini dia pilihan pertama gw begitu turun di stasiun Solobalapan jam 2 dini hari. Lokasinya nggak jauh dari stasiun, tepatnya di Jl. Monginsidi. Gampang untuk dicari, tinggal lihat aja tempat paling rame saat dini hari tersebut. Banyak orang yang bela-belain datang ke sini hanya untuk mencicipi cekernya. Gw sendiri sebenernya nggak suka ceker, tapi kalo udah datang ke tempat kuliner dan andalannya adalah ceker maka makanan itu harus gw coba. Gudegnya? Yaa hampir sama dengan rasa gudeg di tempat lain. Tapi cekernya memang harus gw akui enak dan empuk.

2. Sate kere
 Sesuai dengan namanya, sate kere berarti satenya 'orang miskin'. Bukan tanpa alasan, ate kere adalah sate yang bahannya dari tempe gembus dan juga jeroan sapi. Gw nggak berkesempatan ke tempat penjualannya, karena gw dibawain sate ini sama temen. Rasanya? Karena gw nggak suka sama yang namanya jeroan, jadi yang gw makan cuma sate tempe gembusnya. Bumbu bacemnya terlalu manis, apalagi kalo ditambah kuah kacang yang manis juga.

3. Nasi liwet
Yang namanya nasi liwet di Solo itu sama aja dengan penjual nasi uduk di Jakarta. Kalo di Jakarta biasa dijumpai warung nasi uduk di jalan-jalan, nah di Solo nasi liwet sama seperti itu. Ada beberapa yang terkenal, seperti nasi liwet Wongso Lemu Keprabon. Tapi dari beberapa kali makan nasi liwet ya rasanya hampir sama semua. Yang terkenal berarti lebih mahal juga harganya.

4. Serabi Notosuman
Serabi ini memang nggak ada tandingannya. Rasa yang lembut bercampur rasa manis-asin pasti bikin mulut pingin makan terus, apalagi kalo disajikan hangat. Kata orang Solo, walaupun ada saingannya, serabi ini masih belum ada yang ngalahin.

5. Timlo Sastro

Timlo adalah makanan khas Solo yang kuahnya mirip sop ayam. Gw kira timlo itu isinya macam-macam seperti timlo yang gw makan selama ini, ada bihunnya. Ternyata timlo di tempat ini isinya cukup simpel: potongan daging ayam, ati ampela, pindang telor dan sosis solo. Rasanya? Luar biasa! Apalagi ditambah dengan sambel kecap dan dimakan siang hari. Lokasinya yang terletak di belakang Pasar Gede selalu dipenuhi orang kalo jam makan siang.

6. Selat Solo Vien's
 Selat solo mungkin adalah hidangan warisan Belanda yang dimodifikasi sama orang lokal. Sekilas penampakannya mirip bistik tapi berkuah. Kuahnya rasa manis gurih, berisi kentang goreng, buncis, wortel, bola daging, telor dan acar yang dicampur mayonais. Walaupun penampilannya yang terkesan mahal, harga per porsinya cuma Rp 7 ribu dan bikin kenyang. Ada juga makanan lain yang baru pertama gw coba, yaotu sop matahari dan sop manten, semacam sop ayam yang diisi dengan semacam martabak isi/rolade. Nggak heran kalo makan siang di sini selalu rame. Sebenernya ada juga tempat menjual selat solo yang terkenal di RM Kusuma Sari, tapi harganya lebih mahal.

6. Sate buntel Tambak Segaran
Sate buntel adalah sate daging kambing yang luarnya dilapisi dengan lemak kambing. Nggak heran bau kambingnya masih semerbak. Yang terkenal adalah sate Tambak Segaran di Jl. Sutan Syahrir. Porsinya gede banget, sehingga cukup untuk dimakan berame-rame. Selain sate, di restoran ini juga dijual gule dan tongseng.

7. Angkringan
Angkringan adalah istilah yang khas di daerah Jogja & Solo untuk warung ngopi malam hari. Hampir di setiap kampung pasti terdapat angkringan. Biasanya menjual nasi kucing + lauk-lauknya yang unik seperti sate keong, sate bekicot, sate telor puyuh, sate jeroan, gorengan dan juga cemilan-cemilan seperti sosis solo dan pisang coklat. Jangan lupa juga untuk nyicip wedang jahe, cocok untuk mengusir ngantuk dan capek.

8. Restoran Bale Raos
 Restoran Bale Raosadalah restoran yang spesialisasinya jual makanan khas dapur kraton Jogja. Nggak heran kalo isinya adalah makanan-makanan kesukaan Sri Sultan dari jaman dulu. Makanannya bervariasi, dari bistik, bebek, ayam, hingga sup, tapi yang pasti minuman andalannya adalah bir jawa. Lokasinya agak nyempil di belakang kraton. Sebenernya ada restoran lain yang menjual makanan serupa yaitu Gadri yang lebih dekat dengan alun-alun utara, tapi menurut gw Bale Raos lebih enak. Kekurangannya cuma satu: mahal!

9. Susu segar
Kaki lima yang menjual susu segar dan olahannya tersebar di jalanan kota Solo. Lengkap dengan makanan pelengkap lain seperti mie instan atau roti & tape bakar. Mungkin salah satu warung yang terkenal adalah Shi Jack.

10. Pecel Mbok Kami

Kali ini agak keluar dari Solo-Jogja, tepatnya di Ambarawa. Pecel Mbok Kami ini sangat terkenal hingga mobil-mobil luar kota pada mampir cuma untuk sekedar makan siang. Tempatnya pas di tengah perjalanan gw dan teman-teman dari Solo ke Dieng. Lokasinya nggak susah dicari, yaitu di jalan depan RS Ambarawa. Hampir sama dengan pecel lain, pecel ini berisi nasi, sayur dan gorengan yang disiram kuah kacang. Tapi rasanya enak bener, mungkin juga karena efek laper di tengah perjalanan. Apalagi kalo ditutup dengan es dawet.

11. Mie Ongklok

Inilah makanan khas Wonosobo dan Dieng: mie ongklok. Gw sendiri baru merasakan makanan ini pertama kali. Mie ongklok adalah makanan yang berupa mie kuning  dengan sayur sawi yang disiram kuah kanji yang manis-pedas. Nggak disangka rasanya ternyata enak apalagi kalo dimakan bersama sate sapi, cocok buat melawan hawa dingin Dieng. Minuman khas Dieng adalah purwaceng, semacam kopi yang diseduh bersama rempah-rempah.

12. Nasi goreng jawa Pak Pele

Lokasi kaki lima nasi goreng jawa yang terkenal ini tepat di depan kraton Jogja di alun-alun utara. Pengunjungnya selalu rame, nggak heran kalo tempat yang disediakan juga luas hingga ke lesehan-lesehan di trotoar walaupun cuma dilayani oleh dua gerobak. Makanan yang disajikan standar ala nasi gorang jawa pada umumnya dengan andalan magelangan dan mi godhog. Tapi rasanya memang enak walaupun harganya agak mahal pada standar makanan Jogja.

13. RM Adem Ayem
Rumah makan ini terkenal seantero Solo karena menjual hampir semua makanan khas Solo di restorannya. Gw sendiri mengunjungi restoran ini bukan untuk makan tapi untuk beli oleh-oleh gudeg kendil Solo. Gudeg Solo memang sedikit beda dibandingkan gudeg Jogja, gw cuma bisa membedakan rasanya yang kurang manis dibandingkan gudeg Jogja. Selain gudeg dan makanan Solo sebagai andalannya, restoran ini juga menjual makanan ala barat. Harganya juga sedikit mahal karena namaya udah terkenal.



Friday, March 16, 2012

Patient Story (1)

Suatu subuh, di IGD RSUD Kabupaten Bekasi, seorang pasien remaja laki-laki berobat.

Gw: Kenapa mas?
Pasien: Ini dok, kepala saya pusing, terus badan saya rasanya panas.
Gw: Oooo... Demam? Udah berapa lama?
Pasien: Barusan dok.
Gw: Awalnya gimana demamnya? Langsung tinggi atau anget dulu gitu?
Pasien: Ini dok, saya barusan minum obat DMP empat puluh satu biji jam delapan malam tadi.
Gw: Hah?! Kenapa bisa gitu?
Pasien: Iya dok. Saya galau.


Friday, March 2, 2012

Untung Saya Jadi Dokter...

Untung saya jadi dokter
Kalau keluarga sakit,
Bisa memberi obat sendiri

Untung saya jadi dokter
Kalau saya sakit,
Bisa mengobati diri sendiri

Untung saya jadi dokter
Kalau saya jadi dokter gigi,
Nggak bisa menambal gigi sendiri kalau gigi saya bolong

Untung saya jadi dokter
Kalau saya jadi dokter hewan,
Rumah saya mungkin jadi tempat penampungan kucing sakit

Untung saya jadi dokter
Kalau saya jadi psikolog,
Bisa-bisa saya sekarang jadi ahli hipnotis

Untung saya jadi dokter
Kalau saya jadi insinyur mesin,
Pasti disuruh reparasi kalau mobil di rumah mogok

Untung saya jadi dokter
Kalau saya jadi insinyur pertambangan,
Mungkin sekarang sedang di tengah laut atau di tengah gurun

Untung saya jadi dokter
Kalau saya jadi insinyur teknik industri,
Mungkin sekarang sedang kerja di bank

Untung saya jadi dokter
Kalau saya jadi arsitek,
Rumah yang saya buat nggak artistik semua karena nggak ada bakat seni

Untung saya jadi dokter
Kalau saya jadi pengacara,
Mungkin sekarang sedang membela koruptor di pengadilan

Untung saya jadi dokter
Kalau saya jadi akuntan,
Menghitung banyak uang, tapi bukan punya sendiri

Untung saya jadi dokter
Kalau saya jadi politisi,
Mungkin sekarang sedang bingung untuk pilih parpol yang bagus

Untung saya jadi dokter
Kalau saya jadi artis,
Makin tua, makin nggak dicari

Untung saya jadi dokter
Kalau saya jadi wartawan,
Mungkin sekarang sedang mencari gosip tentang artis

Untung saya jadi dokter
Kalau saya jadi atlet,
Mau cari uang dari mana?

Untung saya jadi dokter
Kalau saya jadi tentara
Mungkin sekarang sedang di Papua, memberondong separatis

Untung saya jadi dokter
Kalau saya jadi sastrawan,
Mungkin saya harus membuat ratusan karya seperti ini

Untung saya jadi dokter,
Yang kuliah di perguruan tinggi negeri
Bayar kuliah cuma dua juta per semester

Makanya,
Ayo jadi dokter, pasti untung


P.S.: no offence, just a joke ;)

Thursday, February 23, 2012

Berpikir Sedikit tentang Cibitung

Hampir 4 bulan sudah gw menjalani pekerjaan di Cibitung, tepatnya di RSUD Kabupaten Bekasi. Sebenarnya RS itu bukan masuk ke kecamatan Cibitung melainkan ke kecamatan Tambun, tapi berhubung lebih dekat ke gerbang tol Cibitung jadinya gw sah-kan RS itu adanya di Cibitung. Apa yang anda ekspektasikan untuk sebuah rumah sakit daerah di kabupaten Bekasi dengan jumlah penduduk sebanyak 2.193.776 jiwa (2008)? Tentu pastinya sama seperti gw saat pertama kali tau akan ditempatkan di sini: kapasitasnya lebih dari 100 bed, fasilitas lengkap, gedung bagus. Karena apa? Kabupaten Bekasi sendiri pasti punya pemasukan yang besar (46.480.292 juta rupiah PDB di tahun 2008) karena adanya jajaran-jajaran pabrik di dalamnya, termasuk kawasan industri Jababeka dan Cikarang yang akhir-akhir ini terkenal akan demo buruhnya.

Nyatanya, RSUD Kabupaten Bekasi itu hanyalah RS tipe C. Gedungnya masih kecil yang gw bilang kurang layak untuk jadi bangunan RS, walaupun sekarang masih dalam tahap pembangunan gedung baru. Kapasitas resminya adalah 95 bed. Fasilitas-fasilitas yang mestinya ada di RS untuk masyarakat kabupaten Bekasi masih belum bisa terakomodir dengan baik, miris bila dibandingkan dengan pendapatan pemdanya. Coba aja 1% dari pendapatan bruto tahunan (kurang lebih Rp 400 milyar) diinvestasikan ke fasilitas kesehatan, wah RS ini mungkin udah jadi RS rujukan regional dengan fasilitas superkomplit. CT-scan? Pemeriksaan AGD? Pemeriksaan elektrolit? Fasilitas hemodialisis? Fasilitas kateterisasi jantung? Semuanya belum ada, memang semua masih dalam tahap pengembangan. Ruangan ICU hanya ada cuma 2 bed, yang artinya 1 bed diperebutkan sama 1 juta penduduk. Memang RS-RS swasta lain buanyak buanget di Bekasi, tapi rata-rata pasien gw di RSUD adalah pasien-pasien nggak mampu. Sebagian beruntung karena punya kartu Jamkesmas yang notabene dibiayai pemerintah pusat. Sebagian lagi agak beruntung karena masih dapat jaminan Jamkesda yang ada limit kunjungan dan RS rujukannya terbatas. Sebagian besar yang lain benar-benar sial karena nggak punya jaminan sama sekali. Baru saja kemarin gw dapat pasien sesak akibat gagal jantung karena jantungnya udah bocor dan butuh ruangan ICU, keluarga menolak rawat karena masalah biaya. Lain kasus, banyak juga pasien yang sudah mengurus jaminan segala macam, tapi terpaksa dirujuk karena fasilitas nggak lengkap atau karena kamarnya penuh. Terpaksa pasien seperti itu dirujuk ke RSUD Kota Bekasi, RSHS Bandung, RS di Jakarta, atau malah RS-RS swasta lain yang ada di sini. Jadilah RS tempat gw sekarang memang jadi spesialisasi ngerujuk. Lain halnya lagi kalo ada pasien trauma di ekstremitas sehingga butuh operasi segera karena di Bekasi ada jalan tol Jakarta-Cikampek dan banyak pabrik sehingga memperbesar risiko kecelakaan lalu lintas dan kecelakaan kerja, RSUD Bekasi nggak bisa melayani karena nggak ada dokter bedah tulang (adanya cuma dokter bedah umum) dan nggak bisa operasi cito.

Kemarin juga gw nonton sebuah dialog yang menarik di TV. Topiknya tentang permasalahan korupsi di Indonesia, terutama yang menyangkut menteri. Menariknya, pembicara yang juga mantan menteri tersebut bilang bahwa sekitar 20% anggaran negara dikorupsi di tingkat penganggaran, sementara 30% dikorupsi di tingkat pelaksanaan. Itu angka rata-rata. Apa hubungannya sama topik yang gw tulis sebelumnya? Gw tidak bilang bahwa pemda kabupaten Bekasi itu korup. Gw cuma pingin menyampaikan kepada bupati Bekasi dan calon-calon bupati yang lain (berhubung mau ada pilkada Bekasi) bahwa alokasikanlah anggaran daerah dengan baik, khususnya anggaran kesehatan karena gw berkecimpung di dunia kesehatan. Bagaimana cara membentuk sarana kesehatan yang baik? Salah satunya adalah membuat RS yang layak dan mampu melayani seluruh masyarakatnya.






Btw, akhirnya gw resmi juga terdaftar sebagai anggota IDI dari cabang kabupaten Bekasi. Walaupun keanggotaan ini cuma sementara tetep, thanks untuk semuanya... :)

*nulis postingan apa sih gw barusan??

Sunday, February 12, 2012

Random Trip

Perjalanan gw baru-baru ini benar-benar random. Libur 3 hari hasil tuker-tukeran jadwal sama teman menghasilkan ide jalan-jalan singkat kali ini yang tujuannya nggak jauh-jauh: Kota Tua Jakarta. Entah kenapa gw kesambet untuk jalan-jalan ke daerah sini, sendirian pula. Sebenarnya gw udah termasuk sering untuk pergi ke Kota, terakhir kali mungkin tahun 2010 (bukan sering ini namanya sih!). Rata-rata hampir pasti selalu tiap ke sini ngunjungi Museum Sejarah Jakarta, yang dari tahun ke tahun ya gitu-gitu aja. Makanya perjalanan ke Kota kali ini gw targetkan untuk jalan-jalan ke tempat yang belum pernah gw datengin dengan jalan kaki, mumpung badan masih kuat untuk diajak jalan jauh.

Perjalanan dimulai di stasiun Tebet, gw akan menggunakan kereta commuter line menuju ke stasiun Jakartakota. Hari itu, Kamis, 9 Februari 2012, memang cocok untuk jalan-jalan ke Kota. Matahari cukup cerah (baca: panas) untuk jalan-jalan. Wisatawan masih sepi, justru yang banyak adalah pedagang-pedagang yang mau ke daerah Mangga Dua. Commuter line cukup sepi karena gw emang sengaja nunggu untuk berangkat agak siangan biar nggak ikut-ikutan urbanisasi orang Bogor ke Jakarta. Begitu masuk kereta gw udah disajikan pemandangan yang super aneh, ada pedagang rambutan dengan 3 bakul gedenya di dalem kereta ber-AC ini. Gw jepret-jepret dulu deh dia sambil cuek, lumayan untuk koleksi foto. Kira-kira 20 menit perjalanan Tebet-Kota, hal yang mungkin dicapai kalo pake mobil.
Cuma di Indonesia

Begitu sampai Kota, tujuan pertama adalah makan pagi yang telat. Searching wisata kuliner di Kota gampang-gampang susah terutama untuk muslim seperti gw. Sebenernya banyak banget review tapi kebanyakan mengandung babi, dari mie ayam sampai ke bubur hampir semuanya berbabi. Dan pilihan kuliner enak dan halal juga terbatas. Dari hasil searching wisata kuliner Kota yang agak susah, gw berencana untuk brunch  di daerah pasar Asemka, tepatnya di warung soto tangkar di dalam pasar. Entah kenapa, soto tangkar (iga sapi) di sini terkenal banget. Nyarinya pun setengah mati, hampir 30 menit gw jalan-jalan kepanasan sebelum menemukan Soto Tangkar H. Diding di dalem pasar Asemka. Warungnya kecil banget, cuma ada 6 kursi. Menu yang gw coba ada 2: soto tangkar dan sate sapi. Kuah soto tangkar ini seperti kuah soto betawi. Enak? Jelas karena gw juga sedang lapar-laparnya.

Selesai makan di Asemka, gw langsung jalan ke kawasan Kalibesar untuk hunting foto. Dimulai dari jl. Kalibesar Barat gw mulai menyusuri kali kebanggaan orang VOC jaman dulu sambil lihat-lihat gedung tua di kawasan itu. Sayang, kalinya udah kotor dan bau, dan gedung-gedungnya udah kotor nggak terawat, tapi arsitekturnya masih bisa dinikmati. Mungkin satu-satunya gedung yang masih bagus terawat adalah Toko Merah, kediaman gubernur van Imhoff jaman dulu yang sekarang menjadi cagar budaya. Jalan gw terusin ke arah utara untuk ke jembatan Kota Intan, yang dulunya menjadi jembatan tempat perahu-perahu dagang lewat kanal Kalibesar, mirip fungsinya seperti Tower Bridge di London. Sayang lagi-lagi, jembatan ini sekitarnya udah kumuh, walaupun masuknya gratis. Engsel untuk ngangkat jembatan sudah dinonfungsikan permanen. Apalagi kali dibawahnya pun bau sampah. Selesai kunjungan ke jembatan, sambil kehausan ec. kepanasan gw jalan ke alun-alun Batavia lama untuk ngadem sebentar di museum-museum di sekitaran Museum Sejarah Jakarta. Gw memilih untuk masuk ke museum wayang yang gw kunjungi untuk kedua kalinya. Gw bingung sama pengelola museum, gimana bisa nyari untung dari kunjungan museum, sementara untuk masuk cuma ditarik Rp 2 ribu dan dikasih guidebook  yang lumayan tebal.

Selesai ngadem, sambil berbekal sebotol minuman isotonik, gw jalan agak jauh dari alun-alun menuju ke arah pelabuhan Sunda Kelapa, melewati jembatan Kota Intan lagi. Tujuan kali ini adalah ke museum bahari yang ada di sekitaran pasar ikan Luar Batang. Jalan menuju ke daerah ini lumayan jauh dan panas menyengat, tapi melewati bangunan-bangunan yang dulunya galangan kapal VOC yang sekarang udah beralih fungsi menjadi restoran-restoran Cina. Sebelum ke museum, gw menyempatkan mampir ke menara syahbandar Sunda Kelapa yang bangunannya miring hampir menyerupai menara Pisa di Italia. Tempat ini adalah tempat patok 0 km Jakarta. Sesampainya di puncak menara gw memang bisa melihat pemandangan pelabuhan Sunda Kelapa dan sekitarnya, tapi berada di puncak menara ini cukup serem karena menara goyang kalo ada truk lewat di jalanan di bawahnya. Apalagi menaranya miring pula. Mudah-mudahan sih pengunjungnya tetap sedikit biar menaranya nggak cepet ambruk. Di bawah menara ada bekas tembok benteng lengkap dengan meriam-meriamnya yang diarahkan ke perkampungan kumuh warga. Sesampainya di museum bahari, gw kaget pengungjungnya cuma gw seorang. Berada di bekas gudang VOC dengan ruangan besar nan senyap sendirian memang agak creepy. Tapi secara keseluruhan museum ini agak jelek koleksinya, karena kebanyakan berupa miniatur dan maket. Nilai historisnya malah lebih bernilai di gedung tempat museum ini daripada koleksinya.

Gw pun balik ke kawasan alun-alun untuk menelusuri museum yang belum gw jamah. Pinginnya ke museum seni rupa & keramik tapi museum ini hari itu lagi tutup. Akhirnya gw masuk ke museum Bank Indonesia yang dulunya bekas kantor pusat bank sentral di Batavia. Overall, museum ini adalah yang paling tertata bagus dan modern di seluruh kawasan Kota Tua. Berbanding terbalik sama museum-museum lain yang dikelola sama pemerintah provinsi. Selesai dari museum ini, sekitar jam 3 sore gw bertolak ke ITC Mangga Dua. Tujuan gw ke ITC ini bukan untuk borong sepatu atau baju, melainkan cuma untuk makan siang telat di kios restoran Mama Kitchen yang cuma jual 1 menu: tomyam. Kiosnya cuma ada sekitar 15-20 kursi tapi untungnya gw datang di saat bukan jam makan siang. Selesai nyantap nasi goreng tomyam seafood dan bawa oleh-oleh buat orang rumah, gw pun balik ke Stasiun Jakartakota sebelum jam pulang kantor dimulai.

Saturday, January 28, 2012

Perjalanan Singkat ke Sawarna

Pekerjaan sebagai dokter itu kadang penuh tantangan, kadang juga membosankan. Penuh tantangan gw rasa semua dokter juga merasakan kalo pekerjaannya itu menyerempet maut orang lain dan rawan dituntut. Sementara membosankan itu sebaliknya, mungkin cuma sedikit dokter termasuk gw yang udah merasa bosan sama rutinitas di rumah sakit, macet di jalan, padahal baru 2 bulan gw menjalani pekerjaan baru gw di RSUD Kabupaten Bekasi. Dokter juga manusia, butuh libur, cuti, dan refreshing untuk sekedar nge-charge mental.

Maka oleh karena daripada itu, di pertengahan Januari ini gw sangat beruntung dapat jadwal kosong yang lumayan banyak hasil transaksi tuker jadwal jaga sama teman. Dan gw nggak akan menyia-nyiakannya untuk liburan yang pendek tapi padat. Pilihan jatuh ke Jawa Barat bagian selatan, gw belum pernah ke sana kecuali ke Pangandaran yang ceritanya udah pernah gw tulis di blog ini. Basecamp untuk perjalanan kali ini gw tetapkan di kota kecil Palabuhanratu, karena ada teman-teman gw yang internship juga di sana. Pilihan destinasi ada 2: Ujung Genteng dan Sawarna. Keduanya nggak mungkin dijalani bareng kecuali perjalanan mau dilakukan seminggu lebih. Setelah searching, akhirnya pilihan jatuh ke Sawarna. Semula gw mau jalan sendiri, ngerasain backpacking sendiri, nggak disangka teman gw Fatia ikut juga gara-gara diajak sama cowoknya Fadhil yang emang kebetulan di Palabuhanratu. Jadilah Fatia gw paksa ikut naik kendaraan umum dari Jakarta ke Palabuhanratu.

Perjalanan dimulai di stasiun Cawang. Berbekal tiket commuter line seharga Rp 7 ribu, perjalanan Jakarta-Bogor cuma ditempuh 40 menit. Dari stasiun Bogor naik angkot 03 jurusan Bubulak-Baranangsiang untuk selanjutnya naik bus MGI jurusan Bogor-Palabuhanratu di terminal Baranangsiang seharga Rp 25 ribu. Berhubung waktu udah makin sore, jadilah kami berdua nggak sempet makan siang di Bogor. Bus MGI ini full AC dan full music, tapi tarikannya lambat banget dan nggak bisa ngebut. Alhasil perjalanan Bogor-Palabuhanratu ditempuh dalam waktu 4 jam. Untung gw sempet tidur gara-gara efek jaga malam sebelum berangkat. Sampai di Palabuhanratu, ngasih surprise  buat teman gw Diko yang lagi ultah, kami semua makan dan langsung tidur.

Keesokan harinya gw diajak trip  di RSUD Palabuhanratu sama Fadhil. RS-nya lebih luas daripada RS gw, jumlah spesialis lebih sedikit, suasananya lebih tenang, dan udaranya masih seger. Setelah makan pagi di RS, kami bertiga berangkat naik sedannya Fadhil. Gw menyetir. Di tengah jalan menjelang Bayah, gw melintasi rombongan anak SD di kiri gw yang lagi pulang sekolah, tiba-tiba ada 1 anak yang nyebrang sambil lari tiba-tiba di depan mobil. Sempat ngerem, gw pun menabrak anak ini dan dia kelempar sekitar 5 meter. Habis jatuh, si Asep ini langsung lari ke rumahnya, gw teriak manggil dia dan nyamperin tapi dia tetep kabur sambil nangis. Dibantu warga gw berhasil ke rumahnya anak itu. Setelah ngenalin kalo gw dokter (inilah salah satu enaknya dokter) dan periksa-periksa dikit untuk menyingkirkan fraktur, gw menyarankan kalo Asep dibawa ke puskesmas untuk dibersihin lukanya. Gw cuma bawa obat asam mefenamat dan loratadine, Fatia bawa stetoskop, nggak ada yang bawa amoxicillin atau bahkan kasa dan betadine. Gw bawalah anak itu ke Puskesmas Bayah untuk diobatin dengan gratis (mungkin karena gw ngenalin ke sana sebagai dokter), dan dengan delay 1 jam, kami langsung cabut ke Sawarna.

Perjalanan ke Sawarna diawali naik bukit dulu dengan jalanan yang rusak terus langsung turun ke Sawarna. Jarak dari jalan raya mungkin sekitar 10 km. Pintu gerbang Sawarna langsung dapat dikenali dari adanya jembatan gantung di atas sungai. Setelah parkir, gw langsung masuk untuk survey sekaligus cari penginapan. Hari itu bukan hari libur jadi desa Sawarna sepi banget, yang ada cuma penduduk asli. Gw sendiri begitu masuk sempat kecewa ternyata desa Sawarna sekilas seperti desa-desa lainnya di Jawa. Lebih dekat ke pantai, baru mulai banyak homestay yang masih kosong karena bukan hari libur. Setelah pilih-pilih akhirnya gw memilih homestay Javabeach yang satu-satunya punya lantai 2 dan ada beranda yang langsung hadap ke sawah. Penginapan di Sawarna sistemnya bukan bayar per kamar, tapi bayar per orang dengan layanan makan 3 kali sehari.

Kekecewaan itu terobati keesokan harinya. Berbekal browsing di internet saat di Jakarta, gw memutuskan untuk berkeliling sambil nyewa guide  bernama Bimbim dengan biaya Rp 100 ribu, lebih baik bayar agak mahal daripada tersesat di Sawarna. Perjalanan pertama ke gua Lalay, sebutan kelelawar dalam bahasa Sunda, ditempuh dengan menyusuri jalan utama di depan jembatan Sawarna ke arah timur. Setelah melewati tiang telekomunikasi, belok ke jalan kecil di kanan jalan dan menyusuri pematang sawah, jalan di pinggir kali, menyeberang jembatan gantung, menyusuri pematang sawah lagi, baru sampai di pintu masuk gua yang ada di sungai kecil. Peralatan wajib yang kudu dibawa: senter, karena masuk ke dalam gua bisa dalam banget sampai 200 meter secara horizontal melewati sungai kecil dan lumpur. Makin ke dalam, bau kotoran kelelawar makin menyengat. Sebenarnya bisa juga masuk ke lebih dalam lagi asal perlengkapan caving yang dibawa lengkap. Setelah 30 menit menyusuri gua baru kami keluar dan menuju tujuan selanjutnya yaitu pantai Lagoan Pari.

Jalan dari gua Lalay ke pantai Lagoan Pari cukup jauh, mungkin sekitar 4-5 km. Dari gua Lalay harus jalan lewat pematang sawah lagi, menyeberangi sungai yang dangkal, kemudian naik bukit mengikuti aliran air, menyusuri pematang sawah lagi, terus turun bukit dan melewati kebun kelapa. Kecapekan, kepanasan, dan sakit di kaki, bukan karena betis yang sakit tapi karena sandal berlumpur terobati begitu sampai di pantai Lagoan Pari. Saat kami datang, hanya kami bertiga pengunjung pantai tersebut, sehingga seperti pantai pribadi. Pasirnya landai dan ombaknya relatif lebih tenang nggak seperti pantai selatan lainnya membuat gw ikut nyemplung di pantai. Apalagi ditambah kelapa muda yang baru dipetik. Di sisi timur Lagoan Pari ada deretan karang yang membatasi Lagoan Pari dengan samudera yang disebut Karang Taraje, salah satu titik sunrise. Setelah puas bermain pantai, akhirnya gw harus jalan ke pantai Tanjung Layar yang harus ditempuh melalui pinggir pantai dan kebun kelapa sejauh 2 km. Perjalanan ini juga menantang karena kadang harus melewati karang di pantai, dan lebih susah kalo laut sedang pasang. Sesampainya di pantai Tanjung Layar, yang ditandai sama 2 batu besar di tengah laut dan dibatasi sama jejeran karang di belakangnya, gw istirahat lagi untuk menikmati pantai Sawarna. Lagi-lagi kami satu-satunya pengunjung di sana. Setalah makan siang sebentar, kami pun balik ke pantai Ciantir sejauh 2 km menyusuri pantai melewati surfing spot  yang disebut Sawarna Point. Pantai Ciantir merupakan pantai terdekat ke desa Sawarna, jaraknya kira-kira 500 meter dari penginapan kami. Sunset dapat dinikmati di pantai Ciantir ini. Malam hari karena nggak ada TV sama sekali kami habiskan dengan bermain badminton dan menikmati angin malam di penginapan.

Keesokan paginya kami jalan ke muara sungai Sawarna yang bentuknya berkelok. Pemandangannya cukup bagus walaupun saat itu cuaca mendung. Kami pun pulang cepat dari Sawarna agar bisa makan siang di Palabuhanratu. 1,5 jam lamanya perjalanan Sawarna-Palabuhanratu, tentu tanpa insiden menabrak anak kecil lagi. Di Palabuhanratu ada warung makan enak yang menghidangkan ikan jangilus (marlin) bakar seukuran steak, warung Geksor, terletak di dalam terminal Palabuhanratu. Dengan harga yang relatif murah, gw dapat makan dengan kenyang dan enak. Fadhil dan Fatia pulang duluan ke Jakarta karena harus mengejar jadwal jaganya Fatia di malamnya, sementara gw karena masih capek dan males pulang menunggu keesokan harinya. Esoknya gw pulang bareng teman gw Darrell yang dengan baik hati mengantar gw ke Ciawi. Dari situ gw jalan sendiri ke Bogor untuk keliling sekaligus wisata kuliner sendiri, dan pulang sendiri dengan commuter line.

Perjalanan ini berhasil menghitamkan seluruh kulit gw, kecuali di bagian baju, celana, jam tangan, sama tali sandal, mencoba destinasi baru, dan menghilangkan kebosanan gw untuk sementara.

Si Asep
Lagoan Pari
Tanjung Layar
Sunset di Ciantir
Penginapan Javabeach
Jembatan gantung Sawarna