Saturday, December 29, 2012

Flores: Labuanbajo

Kota persinggahan terakhir yang kami kunjungi di Flores adalah Labuanbajo, Fiuuuhh... akhirnya sampai juga di ujung barat Flores setelah sebelumnya perjalanan dari Maumere. Seneng? Nggak sama sekali, karena udah deket-deket mau pulang. Labuanbajo dulunya adalah desa nelayan yang merupakan bagian dar Kab. Manggarai. Tapi berhubung perkembangan pariwisata di Pulau Komodo, kota ini mengalami perkembangan yang signifikan dan akhirnya baru-baru ini dapat jatah pemekaran kabupaten. Perjalanan Ruteng - Labuanbajo memakan waktu 4 jam dengan jalan yang lagi-lagi kelok-kelok. Jalan yang lurus cuma bagian jalan yang ada di wilayah Lembor. Untuk mencapai Labuanbajo dari Lembor harus menembus gunung lagi.

Kota Labuanbajo sendiri nggak terlalu besar. Ada bagian kota baru yang terletak lebih tinggi, di situ terletak kantor-kantor pemerintahan dan juga Bandara Komodo. Sementara kota lama yang bekas desa nelayan ada di bagian bawah. Di situ terdapat jalan 1 arah (Jl. Soekarno-Hatta) yang dimulai dari pasar ikan Labuanbajo. Suasana Labuanbajo sendiri benar-benar beda sama kota lainnya di Flores, banyak kafe, hotel, rumah makan, agen wisata dan dive, pokoknya udah seperti kota internasional karena banyaknya bule di sini. Tapi ya jangan bayangkan Labuanbajo seperti Kuta, kota ini kalo udah malam ya nggak ada aktivitas juga.

Kami sendiri nggak banyak berkesempatan eksplorasi tempat-tempat wisata di sekitar Labuanbajo, karena fokus ke kepulauan Komodo. Jadi yang dilakukan di sini adalah makaaaaan! Maklum, udah beberapa hari nggak ngerasain makanan modern. Yang pertama kami kunjungi adalah warung kaki lima yang ada di pantai sebelah pasar ikan Komodo. Namanya gw lupa, mungkin warung Jawa atau semacam itu lah. Sebenernya nggak susah nyarinya, warung ini paling jauh dari pasar ikan, dekat dengan persimpangan dari atas. Warungnya pun kalo malam paling rame. Di sini yang harus dicoba adalah ikan kerapu bakarnya, cuma 25 ribu rupiah per ekor bokk. Satu orang bisa nyantap 1 ikan bakar + nasi hangat.

Makanan lain yang kami coba adalah rumah makan Arto Moro yang letaknya di Jl. Soekarno-Hatta. Tempat makan ini ada di lantai 2, jadi harus naik tangga dulu dari depan. Menu yang ada di sini adalah semacam pecel ayam di Jakarta, atau kalo gw makannya pecel cumi-cumi. Rasanyaaa? Yah lumayan lah, semacam bayar kekangenan makanan Jawa. Nah, untuk makanan, yang paling gw rekomendasikan adalah kafe yang bernama Tree Top. Kafe ini menyajikan pemandangan sunset yang paling bagus se-Bajo. Jadi buat yang mau hangout, ngabuburit, atau yang mau romantis-romantisan tempat ini cocok. Makanannya juga bervariasi dari western, chinese, hingga Indonesia, tapi enak-enak! Coba kunjungi page-nya di Trip Advisor pasti tanggapannya positif semua. Pelayanannya pun juga memuaskan, ada biliar di lantai bawah yang bisa dipake secara gratis, restoran di lantai 2, dan lounge untuk menginap gratis di lantai 3. Ada wi-fi gratis yang cepet pula. Sebenernya gw masih belum pantes sih untuk rekomendasi tempat makan di Labuanbajo karena gw nggak nyicipin semuanya. Ada Mediterraneo dan MadeInItaly yang nyajiin makanan Italia, Paradise Bar, Bajo Bakery, The Corner, Gelato & U yang semuanya nggak sempet gw coba. Setelah gw browsing lagi sih, La Veria yang tempatnya agak jauh dari kota bisa jadi pilihan untuk makan enak :)

Untuk hotel ada banyak pilihan di kota ini. Untuk eksekutif yang mengutamakan kenyamanan tentu bisa memilih Bintang Flores atau Jayakarta. Kalo seperti kami-kami ini yang budget traveler, tentu harus pilih-pilih, bujet mentok 200 ribu per kamar per malem. Gardena sebenernya bisa jadi pilihan karena tempatnya yang enak dan ada view yang bagus dari atas, cuma waktu ke sana kamarnya penuh. Mutiara merupakan pilihan yang reasonable: kamarnya cukup bersih, harganya murah, lumayan adem, deket sama pelabuhan, dan pengelolanya ramah, cuma waktu hari pertama ke sana kamarnya udah penuh, jadi pastiin dulu untuk booking sebelumnya. Hari pertama kami nginep di Wisata yang letaknya jauh dari pelabuhan dan kamarnya gerah abis. Kalo kepaksa sih boleh aja kalo mau nginep di sana. Satu hal yang pasti, walaupun kepaksa jangan nginep di hotel namanya Matahari. Teman kami, Yudi, yang sebelumnya ketemu di Wae Rebo udah pernah nginep di sana dan simply not recommended at any cost.

Tempat wisata yang banyak dikunjungi di sana adalah Gua Cermin dan juga air terjun Cunca Rami. Cuma sayang kami nggak berkesempatan ke sana.

Bandara Komodo sendiri melayani 3 maskapai: Trans Nusa, Merpati, dan juga Wings Air. Saran gw pakailah maskapai selain Merpati, karena gw udah punya pengalaman flight gw dimajuin seenaknya dan baru dikasih tau 1 jam sebelum berangkat saat gw masih terlelap di kamar hotel. Masih mending dimajuin dan gw lagi ada di kota yang cuma sekitar 5 menit dari bandara. Ada cerita bahkan Merpati kadang-kadang juga delay penerbangan sampai keesokan harinya. Hadeeehh.

Jangan lupa juga begitu nyampe di Labuanbajo adalah cari kapal untuk di-booking keesokan harinya buat yang mau tur Komodo, atau cari dive center yang cocok buat yang mau nyelem. Satu lagi, sebaiknya siapkan duit yang cukup secara tunai di Bali. Di sana sepertinya nggak ada pelayanan kartu kredit. Dan juga ATM pun yang ada cuma ATM BRI dan BNI. Jadi buat gw yang pake bank swasta harus hemat-hemat biaya biar bisa pulang balik ke Jakarta hehehe.






Flores: Wae Rebo

Boleh dibilang, perjalanan ke Desa Wae Rebo merupakan gong dari perjalanan overland Flores dari timur ke barat kemarin. Gimana nggak? Desa ini udah mencaplok penghargaan UNESCO Asia-Pacific Awards for Cultural Heritage Conservation baru-baru ini. Kalo orang luar negeri udah menghargai desa itu, sebaliknya dengan orang negeri sendiri. Jumlah wisatawan domestik yang gw lihat di buku tamu Wae Rebo kalah jauh sama wisatawan luar. Bukan apa-apa. Kabarnya jalan menuju ke desa itu susah bukan main. Kami sih modal nekat aja maksa-maksain Pak Lexi (supir travel) untuk mau ke sana, padahal dia sendiri juga belum pernah ke sana. Hahaha, dasar bonek.

Perjalanan ke Wae Rebo hampir selalu dimulai dari Ruteng, soalnya perjalanannya sendiri lumayan nyapekin jadi disaranin istirahat dulu di Ruteng terus jalan pagi hari. Nggak lupa, kami beli bungkusan nasi padang dulu buat makan siang di tengah jalan. Dan bener, perjalanan Ruteng - Wae Rebo meliuk-liuk dengan patahan-patahan tajam. Kami beriringan sama 1 travel pasangan bule dari Swiss. Beberapa ruas jalan bahkan cuma bisa dilaluin 1 mobil. Untung jalanannya udah lumayan bagus dan diaspal, jadi nggak nyusahin kami. Ya iyalah, orang tinggal tidur di mobil doang hahaha, bahkan gw sendiri minum 2 antimo sebelum naik mobil. Sempet tidur, bangun, baca novel bentar, trus tidur lagi, bangun lagi. Singkat cerita, akhirnya kami sampai di jalanan pinggir laut, menandakan udah sampai di jalanan pesisir selatan Flores. Jalanan ini bukan jalan raya provinsi yang gede, bahkan kalo ada 2 mobil papasan salah satunya harus berhenti. Jalanan ini lumayan panjang juga. Dan yang nggak diduga-duga jalan ini makan korban ban mobil kami. Salah satu ban pecah dan ketika mau diganti ban serepnya juga kempes dan bocor alus juga. Jadilah akhirnya minta bantuan motor yang lewat buat nambalin ban ke tambal ban 'terdekat', sambil kami makan siang di pinggir laut diliatin sama anak SD yang baru pulang jalan kaki bermil-mil jauhnya. Singkat cerita lagi, tambal ban 'terdekat' itu nggak punya tubles, jadilah kita jalan dengan ban yang udah-dipompa-tapi-masih-bocor itu cepat-cepat ke tambal ban lain yang katanya punya tubles di Desa Dintor. Desa Dintor adalah desa pesisir terdekat untuk transit ke Wae Rebo. Desa ini ditandai sama adanya papan penunjuk jalan ke Wae Rebo dan juga Pulau Mules di seberangnya. FYI, kalo naik ojek dari Ruteng ke Dintor per orang kena 150 ribu rupiah.

Perjalanan Dintor - Denge nggak terlalu jauh, tapi menanjak. Desa Denge adalah desa terakhir untuk transit sebelum Wae Rebo. Pemandangan sepanjang jalan ajib banget, bahkan Pak Lexi yang orang Flores asli pun bilang pemandangannya bagus. Di Denge, kami menginap di penginapan milik Pak Guru Blasius Monta, bersama pasangan bule Swiss tadi, Michel & Maggie. Penginapan Pak Blasius itu yang satu-satunya di Denge, adanya di sebelah SDN Denge. Penginapannya sederhana banget, di depan ada beberapa kamar yang dijadikan 2 tingkat, sementara di belakang ada 2 kamar. Sebaiknya kalo peak season reservasi dulu ke Pak Blasius sebelum datang ke sana. Listrik cuma ada malam hari sampai jam 9 malam, sinyal nggak ada sama sekali, atau kalopun ada harus jalan ke kebun cengkeh yang ada di belakang rumah. Nice place to get isolated. Pak Blasius dan istrinya ramah banget, mereka selalu menekankan kalo nginap di sini anggap aja rumah sendiri. Jadi kalo butuh air tinggal ambil ke belakang, kalo butuh air panas boleh masak sendiri pake kompor kayu, kalo mau teh/kopi tinggal minta. Bahkan Bu Blasius nawarin ke gw untuk nyembelih ayam sendiri buat makan malam karena dia ngehormatin tamu-tamunya yang muslim. Sore hari, gara-gara ngantuk gw udah abis di perjalanan, gw emilih untuk main-main ke SDN Denge ngelihat anak-anak SD yang main sore. Hmmm... mengingatkan gw akan enaknya masa kecil yang nggak perlu mikir apa-apa. Malam itu kami habisin dengan ngeliatin sunset di halaman rumah, ngobrol sama supir, sama bule, sama Pak Blasius, makan malam pake ayam sembelihan sendiri, yah pokoknya melupakan semua masalah hahaha.

Perjalanan Denge - Wae Rebo harus dilakukan dengan trekking, nggak ada cara lain. Pak Blasius bilang jalannya enak kok, butuh sekitar 3,5 jam untuk sampai ke Wae Rebo. Denge ada di ketinggian 500 m sementara Wae Rebo ada di ketinggian 1.200 m. Kami berangkat pagi-pagi dianterin sama porter yang udah dipesen sama Pak Blasius sebelumnya. Soalnya kami berencana turun siang hari dan sore udah nyampe di Ruteng lagi. Perjalanan dimulai dari SDN Denge ke arah bukit belakang sekolah. Rute pertama melewati kebun-kebun, aliran sungai, dan penuh sama batu-batu di tengah jalan. Etape ini udah bikin ngos-ngosan karena batunya yang gede-gede. Rute kedua udah nggak ada bebatuan lagi tapi bener-bener panjang dan seperti jalan tiada akhir. Kemiringannya sih nggak seberapa, paling curam cuma sekitar 30 derajat. Pos dua ditandai dengan adanya tebing berpagar yang dari situ bisa dapat sinyal si merah. Perjalanan dilanjutkan dengan menanjak lagi sampai akhirnya keliatan ada ujung atap Mbaru Niang yang mulai nongol. Nah dari situ perjalanan menurun sampai ke Desa Wae Rebo, melewati kebun kopi milik warga.

Sesampainya di Wae Rebo setelah 3,5 jam jalan, hal yang pertama harus dilakukan sebagai tamu adalah minta ijin ke tetua adat di sana, simbolis pake duit. Setelah diijinin baru boleh keliling desa, yang mau istirahat ada Mbaru Niang khusus untuk tamu. Di sana disajiin kopi robusta asli Wae Rebo yang rasanya memang mantap untuk ngusir capek setelah trekking. Warga sana cukup welcome untuk menyambut para tamu, yang hari itu cuma ada 7 orang: kami berempat, pasangan bule Swiss, dan seorang traveller photographer dari Jakarta yang ternyata sebaya sama kami bernama Yudi. Kami baru tahu juga kalo di Wae Rebo bisa nginep juga, tentu dengan tarif beda. Kalo seperti kami yang cuma singgah sehari dikenakan 100 ribu rupiah per kepala, kalo yang nginep dikenakan 225 ribu rupiah per kepala. Sayangnya hal ini ngak sebanding sama makanan yang disajikan di sana, kami cuma dapat nasi, mie goreng, dan tumis sayur di sana. Sejauh ini di Wae Rebo merupakan expense termahal selama di Flores. Sampai siang kami bercengkerama sama penduduk lokal, tanpa lupa kebiasaan sosialita, ambil foto-foto ciamik untuk dipamerin begitu nyampe di Jakarta. Selepas siang, kami harus segera turun ke bawah soalnya langit udah mulai gelap. Kalo turun gunung barengan sama hujan, bakal lama nyampe di Denge.

Perjalanan turun memang lebih cepat. Tapi ngebayangin harus jalan turun gunung lewat jalan yang dilewatin saat naik tadi lumayan bikin mual. Gw nggak terlalu suka lewat jalan yang sama kalo turun gunung. Belum lagi gw kena serangan lintah 4 kali selama perjalanan turun ini, alhasil kaki gw merah kehitaman gara-gara darah sendiri. Perjalanan turun ini 'cuma' 3 jam saja. Sesampainya di rumah Pak Blasius sore hari, langsung disajiin lagi kopi Wae Rebo yang nikmat itu dan bersiap untuk jalan ke Ruteng biar nggak kemaleman. Pak Lexi udah fresh habis istirahat seharian.

Perjalanan turun dari Denge ke Dintor menyajikan pemandangan yang lagi-lagi spektakuler, jalanan lurus turun ke bawah dengan panorama Pulau Mules di kejauhan dengan latar belakang langit sore. Perjalanan Dintor - Ruteng kami tempuh lewat jalan yang berbeda, menembus gunung tapi lebih cepat. Nggak disangka jam 7 malam kami udah tiba di Ruteng dan siap untuk petualangan berikutnya.

Untuk detil tentang Wae Rebo bisa mengunjungi sini, sini, dan sini.

Untuk menghubungi Pak Blasius, cukup SMS ke +6281339350775

Sunday, December 23, 2012

Flores: Bajawa & Ruteng

Perjalanan selanjutnya dimulai dengan perubahan pola transportasi geng Flores (kami berempat) dari yang sebelumnya pake transportasi umum ke perjalanan pake travel. Sebenernya bukan kami yang menginginkan perubahan itu, tapi gara-garanya ada travel dengan base di Labuanbajo yang lagi ada di Maumere dan butuh penumpang buat balik ke Labuanbajo biar nggak rugi. Dan hebatnya, si supir travel itu bisa tahu lokasi persis kami di Riung hanya dengan nanya-nanya orang di Moni. Singkat kata, jadilah kami nge-deal supir travel itu buat ke Labuanbajo dengan waktu selama 4 hari dengan harga 500 ribu rupiah perhari nett, udah nggak perlu mikirin bensin, makan supir, nginep supir, dsb. dan hanya tinggal nempelin badan di kursi. Tentu udah dengan perhitungan kalo kami berempat naik angkutan umum sampai ke Labuanbajo total cuma hemat 200 ribu dibandingin sama naik travel. Bingung? Nggak usah dipikirin.

Oke, perjalanan selanjutnya ke kota Bajawa disupiri Pak Lexi yang ternyata dari Riung lumayan jauh, melewati jalanan yang lagi-lagi berkelok-kelok dan jalanan yang aspalnya setengah jadi. Kira-kira butuh waktu 3 jam perjalanan Riung-Bajawa. Bajawa sendiri adalah kota yang letaknya di tengah Flores dan terkenal berhawa paling dingin. Sebenernya tempat wisata di Bajawa juga nggak terlalu banyak, cuma pemandian air panas yang kami skip karena keterbatasan waktu, dan juga yang paling terkenal adalah desa wisata Bena.

Desa Bena sendiri butuh waktu setengah jam perjalanan dari Bajawa. Untuk mencapai ke sana kalo nggak pake travel bisa menggunakan angkutan umum atau ojek. Sebelum masuk ke desa, wajib nulis buku tamu dulu sambil ngasih uang sukarela. Kemudian bisa keliling-keliling desa sepuasnya, motret-motret, atau berburu kain tenun khas Bena. Objeknya lumayan menarik, ada batu-batu menhir besar di tengah desa yang dipake untuk pemujaan, ada kuburan-kuburan batu, ada ibu-ibu yang lagi menenun, dan banyak lagi lainnya. Dari puncak tertinggi di Bena, kita bisa lihat pemandangan gunung-gunung di sekitar Bajawa hingga pantai selatan Flores. Cukup menyenangkan!

Selepas dari Bena, mampir sebentar di Bajawa untuk isi bensin dan makan. Lagi-lagi pilihan makanan di Flores itu kalo nggak seafood, makanan Padang, atau makanan Jawa. Abis makan, cabut lagi ke kota selanjutnya Ruteng dengan waktu perjalanan 4 jam, itu pun dengan ngebut banget ala Pak Lexi.

Ruteng adalah kota favorit gw di Flores. Gimana nggak? Kotanya relatif lebih lengkap daripada kota lainnya di Flores, udaranya adem sepanjang masa kadang-kadang berkabut, letaknya di kaki gunung, lalu lintasnya juga tenang-tenang aja, pokoknya tipe kota yang tenang buat ditinggali tanpa stress. Ruteng sendiri adalah ibukota Kab. Manggarai dan terkenal sebagai pintu gerbang ke tempat-tempat wisata di sekitarnya yang lumayan banyak. Sayangnya, selepas jam 7 malam, kota ini seperti kota mati. Kami baru berkesempatan keliling wisata di sekitar Ruteng hanya ke 2 tempat wisata: sawah spider-web dan gua Liang Bua.

Sawah spider-web letaknya sekitar seperempat jam dari kota Ruteng. Letaknya gw sendiri nggak tau ada di mananya karena pake supir travel ke sana. Untuk mencapai pemandangan sawah, dibutuhkan naik bukit yang nggak terlalu tinggi dan kemudian hamparan sawah dengan pola sirkular terbentang di depan. Di belakang, panorama Ruteng dengan gunung di belakangnya. Berhubung tempatnya cukup terjangkau, direkomendasikan ke daerah ini.

Sementara Liang Bua terletak sekitar setengah jam dari Ruteng. Setelah jalan yang lagi-lagi berkelok-kelok Liang Bua ditandai dengan adanya gerbang selamat datang. Dari situ di sebelah kanan terdapat musium untuk edukasi tentang gua ini, berhubung tempat ini adalah tempat ditemukannya manusia hobbit dari Flores Homo floresiensis, yang katanya sempat mengguncang dunia perarkeologian. Nggak jauh dari musium terdapat pintu masuk gua yang lebar. Di dalem gua sih sebenernya nggak ada apa-apa, cuma bisa lihat tempat tinggalnya manusia primitif jaman dulu. Kalo ke Flores dalam jangka waktu terbatas, sebaiknya nggak usah ke tempat ini. Tapi kalo waktunya lama seperti kami-kami ini, boleh juga ke sana soalnya tanggung udah jauh-jauh pergi.

Pilihan penginapan dan restoran di Ruteng juga terbatas, nggak seperti di Labuanbajo.Untuk penginapan kami menginap di Susteran Maria Berduka Cita (MBC) yang tempatnya nyaman abis dan yang penting ada air panasnya. Jangan harap bisa nginep dengan enak di Ruteng tanpa air panas. Bahkan katanya kalo ada menteri yang nginep di Ruteng, dia akan nginep di susteran ini. Untuk makanan, selain restoran Padang tentunya, bisa dicoba restoran Pade Doang atau restoran Agape yang jual variasi makanan yang lumayan banyak. Bahkan di Ruteng, kami sempet coba kedai pizza yang tentunya nggak bisa ditemukan dari perjalanan Maumere ke Ruteng sebelumnya.

Sunday, December 16, 2012

Flores: Riung

Jadi pilihan ke Riung itu sebenernya nggak diduga-duga sebelumnya. Dari hasil riset itinerary sebelumnya untuk mencapai Riung itu harus lewat kota Bajawa. Ternyata baru di Moni kami tahu kalo bisa langsung jalan dari Ende ke Riung tanpa harus lewat Bajawa, dan tentu jarak tempuhnya lebih pendek. Nah masalahnya angkutan dari Moni ke Riung itu katanya harus pake angkutan Moni-Ende dulu, trus pindah terminal di Ende, baru naik angkutan ke Riung yang katanya terakhir jam 10 pagi dari Ende. Sementara itu, jam 9 pagi kami masih santai-santai di teras Pak John. Alternatif kalo nggak mau pilihan itu adalah langsung ke Bajawa naik angkutan dari Moni yang katanya datang siang hari, dari situ baru naik angkutan ke utara ke arah Riung. Bingung nggak? Sama.

Buat yang belum tahu, Riung itu adalah kawasan wisata pantai yang ada di Kab. Nagakeo di sisi pantai utara Flores. Memang kawasannya sendiri masih dalam pengembangan dan jauh dari jalan utama lintas Flores sehingga turis yang ke sana juga baru dikit. Denger-denger sih pantainya masih bagus, obyek wisata yang dijual adalah taman laut yang terdiri atas 17 pulau. Hmm menarik.

Si tengah penimbangan mau naik yang mana di terasnya Pak John, tiba-tiba ada tukang ojek yang ngasih tau kalo ada angkutan yang langsung ke Mbay, ibukota Kab. Nagakeo. Dari situ bisa naik angkutan ke Riung yang katanya cuma 15-20 menit dari Mbay. Begitu gw tanya angkutannya seperti apa, eh dia udah nunjuk di depan rumah. Waduh! Dengan keadaan belum packing, belum mandi, angkutannya udah nongol depan hidung aja. Tenang aja katanya, bisa disuruh nunggu, apalagi buat turis lokal seperti kita ini yang jumlahnya 4 orang. Si supir awalnya minta 120 ribu per orang, setelah ditawar jadi 90 ribu per orang. Setelah panik-panik packing dan gw nggak sempet mandi sejak dari Jakarta akhirnya naiklah kita ke bis antar kota tersebut.

Bentukan bis itu mirip elf, cuma isinya bisa macem-macem. Yang turis cuma kami berempat dan dapet kursi nyaman di bangku belakang. Penumpang lain harus rela berdesak-desakan duduk di tengah. Supirnya beda 180 derajat sama supir travel sebelumnya: ugal-ugalan, kenceng, dan pastinya bikin mabok. Untung gw udah minum antimo 2 biji sebelum berangkat. Lagu yang disetel juga lagu yang nge-beat dengan bass speaker  yang adanya di bangku belakang. Makin komplit lah penderitaan perjalanan ini. Jalanan berkelok-kelok Moni-Ende memang bikin puyeng, untung bis itu berhenti di Ende buat makan siang di restoran Padang.

Akhirnya setelah muter-muter lagi sampai juga di terminal Mbay sekitar jam 2 siang. Jangan bayangin terminalnya mirip terminal bis di Jawa. Setelah angkotnya nunggu penumpang juga akhirnya cabut ke Riung yang katanya cuma 15-20 menit itu dengan harga 15 ribu per orang. Pret! Perjalanan ke Riung butuh waktu 1 jam lebih. Sore hari barulah nyampe ke kecamatan yang bernama Riung. Setelah menimbang-nimbang, mikir-mikir bujet juga kami memilih hotel Bintang Wisata.

Nggak ada hiburan di Riung ketika sore sampai malam hari. Hotel kami pun nggak ada TV-nya. Semua hotel yang kami tinggali di Flores juga nggak ada TV-nya karena sedang dalam budget travelling. Jadi kalo malem di Riung, yang dilakukan adalah ngumpul di rumah makan Padang satu-satunya di daerah itu yang dimiliki oleh Uda Burhanis sambil ngobrol-ngobrol nggak jelas, ngomongin itinerary, dan hal-hal nggak penting lainnya. Wisata di Riung paling bagus dilakuin seharian dengan nyewa kapal seharga Rp 250 ribu sepuasnya buat keliling taman laut Riung. Uda Burhanis juga yang ngajarin biar hemat konsumsi di atas kapal, yaitu dengan beli nasi bungkusnya buat dimakan siang hari. Dasar orang Padang memang otak bisnisnya jalan.

Pagi hari, setelah beli nasi Padang, kami jalan kaki ke dermaga. Malam sebelumnya gw udah ngehubungin salah satu pemilik kapal yaitu Pak Adam. Nah buat perjalanan kami ini dinahkodain sama Mas Abri. Tujuan pertama ke Pulau Tiga. Pulau Tiga ini terkenal dengan spot surfingnya di pinggir pantai. Oke, jadi kami nyebur sepuasnya di sana. Lumayan bagus. Kami bisa nangkap ikan fugu buat dimain-mainin, ketemu sama lionfish, dan beratus-ratus starfish. Karang-karangnya masih perawan karena jarangnya turis ke sana.

Tujuan selanjutnya adalah Pulau Rutong. Pulau ini adalah pulau yang berbukit, jadi agendanya adalah trekking ke atas bukit. Rutenya sih nggak jauh-jauh amat, cuma berhubung panas terik jadinya butuh tenaga lebih. Tapi begitu sampai di atas pemandangannya Subhanallah. Jernih birunya laut Riung kelihatan dari puncak ini dengan latar belakang lanskap Pulau Flores. Setelah berpuas-puas trekking dan tentunya renang lagi di Pulau Rutong, baru kami jalan ke taman laut di dekat Pulau Bakau. Nah di taman laut inilah tempat snorkling yang paling ajib. Karena tempatnya bukan di tepi pantai, tapi di benar-benar di tengah laut dangkal, keanekaragaman ikannya sungguh bagus. Sangat direkomendasikan buat snorkling di sini.

Nah menjelang sore baru kami bertolak ke Pulau Kelelawar yang agak jauh. Sebenernya udah capek juga tapi masih penasaran sama Pulau Kelelawar. Di sini jutaan kelelawar masih tidur menggantung di dahan-dahan pohon bakau. Dengan sedikit gangguan mesin kapal sama tepukan tangan, jutaan itu kaget dibangunin dan langsung terbang nggak tentu arah cari tempat yang lebih tenang. Dengan kami cuma satu-satunya turis di sana tentunya pemandangan itu sangat eksklusif.

Dengan ini, gw simpul dan sarankan bahwa Riung termasuk tempat wisata yang nggak boleh dilewatin selama ke Flores. Terima kasih.

Flores: Moni & Kelimutu

Perjalanan dimulai dari Jakarta, transit di Denpasar, lanjut ke bandara Frans Seda (Waioti) Maumere sore. Maumere sendiri adalah kota paling gede sejagat Flores. Tentu jangan dibandingin sama Jakarta. Hal pertama yang harus dilakukan sebelum nyampe Maumere sebenarnya adalah pastikan moda transportasi apa yang akan membawa anda ke pusat kota. Jangan kayak kami berempat, begitu nyampe di bandara langsung bingung mau ngapain. Alhasil langsung dikerubutin sama agen-agen travel. FYI, di sana nggak ada taksi. Jadi pilihannya adalah travel, ojek atau naik angkot ke pusat kota yang harus jalan dulu lumayan jauh ke gerbang depan bandara. Oke karena nggak ada pilihan, travel minta 50 ribu rupiah buat nganter dari bandara ke pusat kota. Sebenernya dia sanggup nganterin pake Innova ke Moni seharga 500 ribu, tapi bujet kami nggak sanggup.

Entah ditipu apa nggak, dia nganterin cuma sampe deket gerbang depan bandara. Sebenernya nggak ditipu juga sih soalnya dia cariin travel yang nganter penumpang ke Moni. Tapi perbandingan harga dan jaraknya mahal amet! Yasudahlah yang penting dapat angkutan ke Moni. Travel ini harganya Rp 70 ribu per kepala naik mobil Avanza dengan penumpang 7 orang. Supirnya the best, jalan dengan penuh kehati-hatian, sangat nyaman, nggak bikin mabok, walaupun jalanan Maumere ke Ende via Moni itu terkenal meliuk-liuk dan banyak longsor. Sekitar jam 9 malem nyampe di Moni setelah sempat singgah ke peristirahatan di tepi jalan, dan nginep di homestaynya Pak John yang direkomendasiin sama adek kelas yang trip ke sini sebelumnya. Kamarnya nyaman, bednya asik, kamar mandinya standar, Pak John-nya ramah banget. Sebaiknya kalo mau ke Kelimutu berangkatnya pagi hari abis subuh. Kayaknya ini nasihat yang agak salah.

Jadi subuh-subuh kami naik ke Kelimutu ditemenin ojek seharga 70 ribu per ojek pulang pergi. Satu-satunya hal berguna dari bawa jaket di trip ini adalah untuk naik ke Kelimutu ini karena anginnya emang dingin bener. Gw nggak bisa nikmatin pemandangan jalan ke puncak gara-gara sibuk berurusan sama dingin. Sampai di gerbang taman nasional, bayar untuk kendaraan, orang dan kamera yang menurut gw murah banget lalu ditemenin ojek lagi sampai ke parkiran. Nah dari parkiran baru jalan kaki sampai ke summit.

Kelimutu sendiri ada 3 danau yang namanya susah banget dilafalin dan nggak mungkin dihafalin juga. Katanya sih ya, ada danau yang warnanya biru turquoise, ada yang hijau lumut, ada yang coklat kehitaman. Gw sih percaya aja belum ngeliat, cuma ngeliat lewat duit goceng pas masa kecil dulu. Eh begitu  ngeliat sendiri bener lho. Hebat ya yang ngasih tau gw! Dan dengan begitu gw juga tau kalo gambar yang ada di duit goceng dulu itu bohong. Danaunya nggak berjejer 3 berbarengan, tapi danau yang coklat kehitaman itu ada di sisi yang berbeda sama 2 danau lainnya.

Katanya juga nih ya, Kelimutu itu tempat baliknya roh-roh orang Flores. Nah kalo yang ini gw masih belum percaya soalnya gw nggak ngelihat ada 1 roh pun yang lagi melayang-layang ke arah danau.

Jadi setelah puas berkeliling kompleks danau dan foto-foto (itu yang terpenting!) kami pun balik ke parkiran. Soal foto-foto, kami pun menemukan istilah sesi foto baru yang dinamain socialita, yaitu foto pake blackberry masing-masing buat diupdate dan membuat iri teman lainnya, yang tradisi ini berlanjut terus sampai akhir trip. Di parkiran mau nggak mau kami harus mampir ke salah satu warung soalnya kami satu-satunya turis yang datang pagi itu. Ternyata nyobain kopi di sana rasanya enak gila. Kopi Flores memang top. Setelah minum nyemil sebentar kami harus cepet-cepet turun ke Moni lagi soalnya belum packing dan belum tau harus naik apa ke tujuan selanjutnya. Bahkan tujuan selanjutnya pun masih abstrak.

Di Moni, hasil nanya-nanya lagi sama Pak John dan bapak-bapak ojek yang baik hati masih belum tau juga cara nyampe ke tujuan selanjutnya. Pilihannya 2: ke kota Bajawa atau ke pantai Riung, tergantung faktor ekonomis, jarak tempuh, sama ada atau nggaknya angkutan yang praktis dari Moni. Dua-duanya pasti lewat kota Ende. Inilah enaknya backpacking, bisa nentuin sendiri ke mana tujuan selanjutnya.

Monday, December 3, 2012

Flores: Preambule


Yak saatnya untuk berbagi perjalanan gw kemarin. Tujuan liburan gw kemarin adalah ke Flores. Yah, masih banyak orang Indonesia sendiri yang nggak tau Flores itu ada di mana. Padahal sekarang ini pulau itu adalah salah satu fokus promosi wisata Indonesia ke luar negeri. Menurut gw yang baru aja ke sana, sangat worth untuk menjadikan Flores tujuan wisata karena beberapa alasan. Landscape  Flores bener-bener beda banget sama yang ada di Jawa atau Bali. Pulau itu juga menawarkan wisata gunung dan laut secara komplit. Wisata budaya di sana juga nggak kalah menarik. Yah, yang kurang di Flores mungkin cuma wisata kuliner karena orang Flores boleh dibilang nggak punya makanan khas. Tapi itu nggak mengurangi keelokan Flores, seperti artinya sendiri yang berarti bunga. Apalagi tahun depan juga bakal diadakan Sail Komodo 2013, jadi be prepared  untuk menyiapkan perjalanan kalian ke sana!

Liburan gw kemarin berlangsung selama 12 hari 11 malam. Dengan jangka waktu segitu, liburan sekarang jadi perjalanan gw terlama di dalam negeri, di luar mudik tentunya. Seperti sebelum-sebelumnya para pionir perjalanan ini riset kecil-kecilan dulu dan nyiapain itinerary yang pas, serta mulai ngajak orang-orang yang mau berpetualang. Yak, berpetualang! Karena perjalanan ke Flores jangan diharapkan bisa menikmati akomodasi dan transportasi yang enak. Singkat kata, yang mau ikut harus backpacking. Setelah tarik ulur nawarin kesana-sini hampir sebulanan, jadilah yang terkumpul cuma 4 orang, yaitu Fadhil, Fatia, dan Dina.

Walaupun itinerary udah mateng, persiapan sebelum perjalanan pun nggak kalah ribet tapi seru. Tentu packing itu bagi gw termasuk yang paling ribet. Stok obat gw di perjalanan yang sekarang tergolong yang paling banyak. Belum lagi kami nggak booking transportasi atau penginapan yang bakal didiami lebih dulu. Singkat kata, ini bener-bener perjalanan yang mungkin bakal banyak perubahan di tengah jalan. Tiket pesawat demi hemat bener-bener dibeli beda maskapai biar jatuhnya yang paling murah.

Total biaya perjalanan untuk 12 hari ini cuma sekitar 6-7 juta rupiah. Relatif lebih murah dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan kalo bepergian ke daerah lain di Indonesia.

Hmmm... untuk perjalanannya gw bingung mau gw ceritain seberapa banyak. Hahaha! Mungkin nanti akan gw bagi ke beberapa postingan dan agak panjang. Jadi jangan bosan-bosan untuk ngikutin blog gw.