Hampir mengakhiri masa pendidikan kedokteran, gw kembali stase di Puskesmas. Kali ini di Puskesmas Pisangan Timur 2, suatu tempat yang belum pernah gw datangin sebelumnya. Datang ke sana, ternyata banyak orang jualan pisang, nggak heran kalo dinamain Pisangan. Masuk ke daerah sana harus lewat jalan-jalan tikus yang saingan sama angkot-angkot warna biru yang sering ngetem. Puskesmas gw terletak di pojokan jalan, deket sama kantor lurah dan, ini dia ciri khasnya puskesmas di Jakarta, deket sama SD. Alhasil, kalo menjelang jam pulang anak sekolah pedagang-pedagang jajanan SD ngumpul di depan puskesmas.
Akhir-akhir ini gw semakin jarang nulis blog di sini karena ke-nggak-sempet-an gw gara-gara kerjaan yang nggak kelar-kelar. Minggu kemarin gw baru bikin seminar kedokteran yang lumayan gede di hotel bintang lima, yang menguras waktu gw 3 minggu terakhir. Gw juga punya banyak tugas di modul yang sekarang, berkutat sama yang namanya deadline. Gw cuma bisa menunggu libur.
Salah satu program yang gw salut dari puskesmas adalah program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) yang dilakukan tiap hari Jumat. Dokter atau perawat puskesmas rutin mengunjungi RW-RW untuk mengawasi PSN ini, ditemenin sama kader-kader dari tiap RT, suatu hal yang nggak pernah gw rasakan di lingkungan gw. Sekalian berbarengan sama kegiatan ini, gw sama salah satu perawat kunjungan rumah ke pasien bayi gizi buruk yang kemarinnya datang ke puskesmas.
Sungguh memprihatinkan melihat keadaan keluarganya. Keluarganya menyewa 1 kamar kontrakan kecil di mana di 1 tempat tersebut terdapat 26 kamar. Ayahnya bekerja nggak tentu, ibunya sibuk mengurus 3 anak lainnya. Pasien tersebut menderita TB dengan gizi buruk. Umur 9 bulan, berat badan masih 6,7 kg. Dokter sebelumnya sudah membujuk ibu tersebut untuk dirujuk ke rumah sakit, gw pun juga, tapi ibu tersebut menolak. Yang bikin miris adalah alasannya, sang ibu nggak mau mengobati anaknya ke rumah sakit karena nggak ada ongkos untuk bolak-balik ke rumah sakit dan sibuk mengurusi anak-anak lainnya juga. Padahal kartu Gakin udah dipunyai. Ngobatin pasien seperti itu di RSCM aja udah susah, apalagi ngobatin sendiri di rumah. Gw nggak habis pikir masih ada keadaan yang seperti itu di Jakarta.
Banyak banget perbedaan antara pengobatan di perifer sama pengobatan di rumah sakit seperti RSCM. Kalo di rumah sakit gw nggak terlalu memperhatikan keadaan sosioekonomi pasien, di perifer kebalikannya. Bukan pengalaman medis yang dikejar di stase puskesmas ini, tapi pengalaman terjun langsung ke pasien lah yang paling penting.