Sunday, December 28, 2014

Patient Story (4)

Jadi, kerjaan saya pada saat jaga malam di bangsal anak saat ini sebenarnya simpel: cuma memastikan pasien aman-aman saja dan memastikan pekerjaan yang harus dilakukan hari sebelumnya selesai. Nah, yang jadi masalah adalah pasiennya itu banyak banget dan banyak juga yang masalahnya seabrek. Hal yang rutin dilakukan pagi-pagi sama tim jaga adalah melakukan pemantauan keseimbangan cairan dan kecepatan kencing (beneran!) semua pasien; biasa disingkat BD (balans diuresis).

Pekerjaan BD ini sebenarnya gampang, cuma butuh waktu agak lama buat nanya ke orang tua pasien dan menulis semuanya di status. Biasanya, kalo tega, saya bangunin orang tua (rata-rata mama-mama) jam setengah 5 pagi buat nimbang diaper masing-masing. Kalo agak fleksibel dikit, biasanya mulai gerak jam 5 pagi. Kenapa harus tega? Karena target jam 6 semuanya sudah harus beres biar nggak ganggu kerjaan madya dan senior yang biasanya mulai berdatangan.

Nah, pas jaga kemarin ini, seperti biasa sholat subuh dulu sebelum memulai gerakan BD jam setengah 5. Kebetulan ada papanya pasien yang udah dirawat lama juga yang barengan wudhu di mushola, karena dia udah lebih berumur, jadi saya persilakan dia untuk jadi imam. Tanpa disangka, si papa ngimamin sambil baca surat Ar-Rahmaan full buat sholat subuh. Subhanallah...

Alhasil, BD pagi itu pun baru dimulai jam setengah 6 pagi. Sambil wajah segar dan jiwa tertata rapi (ceile) habis sholat berjamaah pake surat panjang, BD pagi itu baru selesai jam 7 sodara-sodara. Lama? Jelas iya. Untung pagi itu jatuh di hari libur, jadi nggak se-hectic keadaan di pagi-pagi biasanya.

Yang saya suka dari orang tua pasien di RS ini adalah, selain alim-alim tentunya jadi bisa ngimamin saya kapan-kapan lagi, mereka nggak manja-manja dan juga pinter-pinter. Kalo anaknya panas, mereka udah tau harus ngukur pake termometer sendiri, ngompresin sendiri dan ngasih paracetamol yang ada di meja samping bed pasien. Kita cukup ngasih tau, "Ma, kalo di atas 38 minum sirup itu ya 1 sendok boleh diulang 4 jam kalo masih panas." Cukup satu instruksi semua beres. Apalagi kalo nge-BD.

Pernah suatu kali, saya datangin orang tua pasien, sebut saja namanya Asep, untuk nge-BD jam 10 malem. Dia datang dari Pandeglang, dirujuk ke sini untuk tumor matanya. Seperti biasa saya bilang, "Mama Asep, saya mau lihat catatan minum sama pipisnya ya!" Karena dia baru datang pagi harinya, dia nggak tau sama sekali kalo harus bikin catatan minum dan pipis. Jadi saya cuma bilang, " Yaudah Ma, pokoknya mulai sekarang dicatet ya di kertas berapa banyak Asep minum sama pipis sama jamnya. Nanti bisa ditimbang di timbangan depan. Besok pagi saya tanya lagi." Cuma dengan instruksi gitu, besok paginya dia udah bisa ngasih catatannya rapi. Nah orang tua pasien yang seperti ini yang bisa bikin kerjaan saya cepet.

Kalo bicara soal pinter, orang tua pasien di sini juga hebat. Kalo saya mau ngasih kemoterapi misalnya, selain nanyain nama dan tanggal lahir, saya juga nanyain nama obat yang mau dimasukin buat konfirmasi. Pernah saya nanya,
Saya : "Ma, sekarang jadwalnya obat apa yang mau dimasukin ke Rizki (bukan nama asli)?"
Mama : "CPA (cyclophosphamide) ya dok?"
Saya : "Bener, trus saya harus masukin apa sebelum CPA?"
Mama : "Mesna dok"
Luaarrrr biaasaaaa.....

Yang jelas, belum 6 bulan di sini saya udah dapat banyak pelajaran dari pasien dan juga orang tuanya. Ya mudah-mudahan sih bikin betah buat beberapa tahun ke depan.....

Thursday, October 23, 2014

Tentang Bersyukur

Baru-baru ini saya disadarkan kembali tentang pentingnya bersyukur. Memang seperti sifat manusia, bersyukur itu seringkali dilakukan di saat roda kehidupan sedang di bawah. Apabila di atas? Kebanyakan orang lupa tentang pentingnya syukur. Tetapi saya sendiri juga tidak tahu apakah saya sekarang sedang di atas, di bawah, atau mungkin di tengah-tengah roda. Yang jelas, perasaan ini timbul saat saya memang sedang terpapar ke orang lain yang seharusnya membuat saya lebih introspeksi diri kembali.

Seperti di blog saya sebelumnya, cerita-cerita yang dimuat di sini hampir selalu idenya muncul secara spontan. Dan biasanya, saya bercerita tentang kesibukan saya pada saat saya menulis blog. Kebetulan saat ini, saya sedang menjalani kehidupan residen baru di rumah-sakit-yang-katanya-pusat-rujukan-nasional. Itu rasa syukur yang pertama. Akhirnya saya mendapatkan kesempatan untuk sekolah kembali. Bagi saya, pendidikan merupakan investasi terbesar dibanding apapun, jadi bersyukurlah orang yang masih mau untuk belajar. Tentu di balik kehidupan residen, yang katanya adalah fase hidup yang paling rendah dalam kehidupan dokter, ada suka dukanya. Saya belum mengalami banyak hal, tetapi sedikit saya akhirnya terpapar dengan cerita-cerita di balik kehidupan residen. Dan sebagian cerita tersebut mampu membuat saya bertanya, apakah memang benar saya mampu menjalani ini, atau apakah sudah tepat jalan yang saya ambil. Belajar selalu membutuhkan komitmen kuat.

Konsekuensi lain bila belajar kembali di rumah sakit tersebut adalah menemui pasien-pasien yang memang berada di level kesehatan tersier. Banyak hal yang membuat ragu untuk menjalani sekolah kembali, namun justru melihat pasien-pasien tersebut dalam kondisi yang membutuhkan pertolongan membuat niat dapat mengalahkan keraguan tersebut. Ini adalah rasa syukur yang kedua. Sungguh berbeda profil pasien di rumah sakit ini dengan rumah sakit tempat saya bekerja sebelumnya. Beberapa pasien di bangsal perawatan biasa mungkin merupakan pasien ICU bila ditempatkan di rumah sakit sebelumnya. Melihat orang tua pasien yang begitu berjuang dan semangat, bahkan hingga pasien meninggal, siapa yang tidak tergerak hatinya untuk mensyukuri hidup, apalagi bila mereka adalah keluarga yang tidak mampu.

Sebagian besar kehidupan pasien-pasien di rumah sakit ini tentu berbeda dengan saya, yang selalu diberi kemudahan, jarang (atau malah belum pernah) diberi cobaan yang berat. Dulu saat kerja, saya selalu mengeluh bahwa gaji yang didapat tidak seberapa, tidak sebanding dengan pekerjaan dan risiko yang dihadapi. Justru sekarang saya harus rela hidup tanpa gaji dengan jumlah pasien (di semester mendatang) yang jauh lebih banyak dan jam kerja lebih banyak. Tapi itu tetap tidak sebanding dengan mereka yang terbaring di rumah sakit karena penyakitnya. Saya masih memiliki keluarga yang lengkap dan mampu mendukung saya. Saya masih memiliki teman-teman yang setia kawan, mau ditanya dan memberi masukan. Saya masih memiliki sistem kehidupan yang mendorong saya untuk mencapai yang saya inginkan, bukannya melawan keinginan saya. Ini rasa syukur yang ketiga.

Sebagai penutup postingan ini, ada satu hal yang tidak boleh kita lupakan, bahwa bersyukur tidak cukup hanya di dalam hati atau diucapkan dengan kata-kata, tetapi juga harus diimplementasikan dalam perbuatan dengan bermanfaat bagi orang lain. Dengan begitu kita dapat bahagia dengan cara yang sederhana dan murah. Saya ingin mengutip kata-kata dari orang lain bahwa kebahagiaan itu mirip orang yang bersyukur. Dan sudah sepatutnya kita mulai bersyukur dari hal yang kecil dengan mulai mencintai apa yang telah kita miliki.

*edisi wise

Thursday, September 11, 2014

Seleksi Masuk PPDS Ilmu Kesehatan Anak FKUI

PPDS Ilmu Kesehatan Anak (IKA) FKUI adalah salah satu program studi favorit bagi sebagian dokter. Berikut saya akan menjabarkan sedikit tentang alur masuk ke program studi ini. Semoga menjadi pencerahan bagi yang membaca.

Untuk masuk ke program studi ini diperlukan persiapan sama seperti masuk ke program studi PPDS lainnya. Tentu yang harus dipersiapkan adalah mental (karena kehidupan PPDS bisa berbeda 180 derajat dibandingkan dengan dokter umum), keilmuan, dan biaya. Proses awal adalah pendaftaran berkas ke CHS FKUI (tempat terakhir sih sudah pindah ke gedung rektorat Salemba 4 lantai 5). Berkas yang harus dilengkapi dapat ditanyakan langsung ke CHS FKUI. Sebelum mendaftar hal yang harus dipersiapkan dari jauh hari antara lain: pengalaman klinis 1 tahun (di luar internship), mempersiapkan rekomendasi, legalisir ijazah dan transkrip nilai, surat rekomendasi IDI, dan nilai TOEFL prediction test di atas 500 di LBI UI atau LIA Pramuka.

Khusus untuk pengalaman klinis, beberapa staf pengajar menyebutkan bahwa pengalaman PTT, terutama di daerah yang sangat terpencil, menjadi nilai plus paling besar dibandingkan dengan pengalaman klinis di tempat lain. Tentu jangan berkecil hati buat yang tidak PTT, karena masih ada tempat untuk dokter non-PTT, contohnya saya. Pengalaman klinis yang banyak bersentuhan dengan kasus anak, misalnya menjadi dokter di NICU, juga bisa dijadikan poin plus. Soal rekomendasi juga kadang menjadi pertanyaan apakah ketiga rekomendasi harus diisi oleh staf pengajar di RSCM? Ini yang membuat orang-orang berlomba untuk magang divisi di RSCM. Jawabannya tidak. Banyak teman saya dari daerah yang tidak bermodalkan rekomendasi dari orang dalam RSCM. Cukup bubuhkan rekomendasi dari guru anda atau atasan anda yang benar-benar mengenal baik karakter anda. Karena sebenarnya rekomendasi itu dipakai apabila nilainya cukup-cukupan, kalau pintar ya tidak dipakai.

Bila berkas sudah diserahkan maka yang bisa kita lakukan hanya belajar sambil menunggu panggilan ujian dari departemen. Ujian masuk PPDS IKA FKUI sekarang ada 4 jenis: psikotest, ujian TOEFL, ujian MCQ, dan ujian wawancara. Semua ujian ini diikuti oleh semua pelamar yang lolos seleksi berkas.

Ujian psikotest hampir sama seperti ujian psikotest pada umumnya, dilakukan di Dept. Psikiatri RSCM. Karena banyaknya tes yang dilakukan, ujian ini dilakukan selama 1 hari penuh. Saya rasa tidak ada tips khusus dalam menjalani ujian ini, karena yang paling penting adalah istirahat secukupnya sehari sebelum tes. Yang penting adalah be yourself, karena bila kita seumpama memiliki kecenderungan memiliki gangguan bipolar kemudian kita belajar psikotest dari buku-buku psikotest dan kemudian lulus, maka yang selanjutnya menderita adalah kita selama menjalani pendidikan.

Ujian TOEFL dilakukan kembali di seleksi masuk dan dilakukan oleh LBI UI. Persyaratan minimal adalah nilai TOEFL 500, walaupun lebih baik bila bisa mencapai 550 atau kalau bisa 600. Karena nilai TOEFL ini akan dirangking dari yang tertinggi hingga terendah. Apabila nilai TOEFL didapat di bawah 500, maka otomatis akan tersingkir dari persaingan masuk.

Ujian MCQ merupakan ujian selanjutnya. Ujian ini tidak dapat diprediksi soalnya seperti apa, karena dibuat oleh kolegium anak berdasarkan giliran setiap cabang. Ujian ini juga bersifat nasional. Saran saya, banyaklah berlatih soal pediatri dari buku-buku latihan dari luar negeri seperti USMLE atau buku lainnya. Tentu belajar buku ajar dalam negeri juga penting.

Tahapan ujian selanjutnya yang banyak ditakuti akhirnya tiba, yaitu ujian wawancara. Ujian wawancara sendiri dilakukan oleh tiga orang penguji, biasanya 1 orang staf senior (profesor) dan 2 orang staf yang lebih muda. Ujian ini tidak bisa ditebak akan berjalan seperti apa, namun secara umum akan ditanyakan hal-hal seperti minat akan kesehatan anak, pengalaman selepas sekolah, pengetahuan kesehatan anak, dan hal lain seperti keluarga, keuangan, dll. Jawaban pertanyaan, "Mengapa anda ingin menjadi dokter anak?" menjadi penting karena biasanya menentukan lancarnya wawancara atau tidak. Sebaiknya jawaban pertanyaan itu bersifat orisinil dan saran saya jangan sekali-kali berbohong dalam ujian wawancara ini. Pengetahuan anak yang terpenting adalah pengetahuan mengenai masalah umum kesehatan anak di Indonesia. Yang penting juga adalah apabila kita memiliki pengalaman penelitian (tidak harus di bidang anak) maka itu bisa menjadi nilai plus juga. Tentu dengan bukti yang sahih, seperti membawa jurnal yang ada nama kita, atau bukti poster/oral presentation. Waktu 1,5 hingga 2 jam diberikan dalam ujian ini.

Kabarnya sih akan ada ujian tambahan berupa OSCE ke depannya, namun untuk saat ini seleksi masuk hanya berupa keempat ujian di atas.

Selesai merampungkan semua ujian, maka yang bisa dilakukan hanyalah berdoa dan tawakkal sambil menunggu pengumuman. Pengumuman sendiri biasanya agak lama (sekitar 1 bulan) setelah ujian selesai.

Semoga yang ditulis di sini berguna bagi calon-calon dokter anak yang akan melanjutkan sekolahnya.

Wednesday, February 26, 2014

Rujuk Merujuk

Berhubung pas malem ini lagi jaga malam yang tenang di RS, dan kebetulan hujan deres jadi relatif tenang dan ada waktu luang, gw mau berbagi pengalaman tentang sistem rujukan di Indonesia (yang gw tahu). Biasanya, rujukan antar RS dilakukan kalo ada perbedaan fasilitas antara RS asal dengan RS tujuan supaya pasien bisa ditangani dengan lebih lengkap.

Alur proses rujukan antar RS biasanya dimulai dengan penilaian dokter di RS asal untuk menentukan dirujuk atau tidak. Kemudian RS asal menghubungi RS tujuan untuk menanyakan tempat dan menjelaskan maksud rujukan. Apabila RS tujuan sudah menyanggupi menerimanya secara medis, keluarga pasien biasanya membicarakan proses administrasi dengan RS tujuan. Setelah semua beres, barulah pasien dirujuk dengan memakai ambulans. Selain rujukan dengan ambulans, ada juga jenis rujukan (yang kurang etis) yang tidak memakai ambulans atau pasien sekedar dilepas begitu saja, sehingga sering dinamakan rujuk lepas.

Gw sendiri kalo menerima kasus rujukan biasanya menimbang masalah medisnya dulu buat dinilai pasien butuh apa. Kasus rujukan bisa ringan bisa juga berat. Rujukan akan menyenangkan bila dokter di RS asal melaporkan kondisi pasien secara aktual. Kasus sebaliknya misalnya, pasien dilaporkan sadar penuh saat akan berangkat pola nafasnya baik, ternyata saat sampai kesadarannya menurun dan sesak. Apa yang terjadi kemudian? RS tujuan akan marah-marah ke RS asal, IGD kalang kabut, dan ujung-ujungnya pasien terlambat ditangani.

Kasus rujukan yang ngeselin juga adalah kalo pasien bayi (prematur) yang dirujuk ujug-ujug sementara udah dilahirin dengan sesar di RS asal. Padahal, kendaraan yang paling baik untuk merujuk bayi prematur adalah rahim si ibu, jadi sebisa mungkin bayi yang kemungkinan besar akan lahir prematur seharusnya dilahirkan di RS yang memiliki fasilitas perawatan intensif bayi baru lahir.

Berikut ini beberapa jenis rujukan yang ada di Indonesia. 

1. Tidak ada/kurang fasilitas
Ini biasanya alasan rujukan yang paling klasik dan sekaligus paling sering. Fasilitas ini bisa macam-macam, dari fasilitas ruangan (ICU, PICU, NICU), tenaga ahli (dokter subspesialis, dokter bedah spesialistik), atau peralatan penunjang (CT scan, USG, kemoterapi, dll). Kalo RS asal menjelaskan dengan benar kondisi pasien dan fasilitas yang dibutuhkan ke RS tujuan dengan benar maka akan memudahkan proses rujukan. Bila tidak, ujung-ujungnya pasien bisa dipingpong kembali ke RS lain yang akhirnya menyusahkan pasien.

2. Atas permintaan sendiri (APS)
Rujuk APS merupakan alasan rujuk yang datangnya dari pasien dan/atau keluarganya. Belum tentu ada perbedaan fasilitas antara RS asal dan tujuan. Alasan dari keluarga yang paling klasik biasanya adalah pelayanan dari RS asal tidak memuaskan, atau sakitnya si pasien tidak sembuh-sembuh sehingga butuh second opinion. Alasan lain biasanya adalah karena rumah si pasien lebih dekat sama RS tujuan. Nah, yang umum lagi biasanya adalah faktor biaya. Yang tipe jenis rujuk APS ini kondisi pasien biasanya nggak sejelek seperti tipe rujuk yang nggak ada fasilitas.

3. Ruangan penuh
Tipe rujukan yang karena ruangan penuh adalah tipe bagi-bagi rejeki ke RS tetangga. Biasanya RS asal adalah RS favorit banyak orang yang nggak peduli musim apa pasiennya selalu membludak. Atau RS asal adalah RS umum yang kuota kamar untuk pasien jaminan sudah habis. Kondisi pasien bisa bervariasi dari yang ringan atau yang berat sekalipun.

Terlepas dari baik buruknya sistem rujukan di Indonesia, diharapkan masyarakat awam mengerti dan dapat memilah-milah tempat perawatan yang pas untuk pasien sehingga pasien tidak perlu terlalu banyak dipindahkan antar RS. Second opinion ke dokter keluarga atau kerabat yang dokter kadang diperlukan untuk menentukan hal tersebut.