Sunday, April 24, 2011

Hari Sial

Sabtu kemarin jadi salah satu hari tersial gw. Mulanya diawali dengan keharusan gw untuk jaga pagi di RS Kanker Dharmais di daerah Slipi, Jakarta Barat. Overall, jaga di RS ini terbilang sangat nyantai, terlalu santai malah, karena perawat-perawatnya tanggap dan juga kasusnya adalah semuanya kanker yang kemoterapinya tentu bukan kompetensi koass. Berasa ngabisin waktu juga jaga di sini karena gw udah selesai ujian IPD dan juga logbook  RSKD juga udah penuh, dokter jaga pun ilang entah ke mana. Akhirnya jaga yang dimulai jam 10 pagi gw selesaikan jam 1 siang, sambil beli makanan kecil buat di mobil. Tujuan selanjutnya: nyebarin poster seminar ke daerah Jakarta Selatan dan Depok.

Menjelang akhir kuliah, gw sedang disibukkan oleh yang namanya seminar. Total ada 2 seminar yang gw pegang: 1 seminar emergensi anak dan 1 seminar emergensi umum. Dan siang itu gw berencana nyebarin poster ke daerah selatan Jakarta. Gw harus ngambil poster tersebut di rumah teman gw di Fatmawati, Jakarta Selatan, terus menuju ke RS pertama di daerah Buncit, Jakarta Selatan. Habis men-drop poster di situ gw langsung ke Depok. Di sini cerita dimulai.

Di daerah Lenteng Agung, gw merasa mobil gw melindas sesuatu, tapi gw nggak nyadar itu apaan. Sampai di tengah Margonda barulah gw nyadar ban gw kempes total. Sh*t! Kesialan pertama. Setelah menepi  di tempat yang agak kosong, gw berencana untuk mengganti ban mobil. Begitu dongkrak udah selesai gw keluarin dan mau gw pasang di bawah mobil, hujan mulai turun! Kesialan kedua. Memang waktu mau jalan ke arah Depok, langit di atasnya udah hitam banget. Terpaksa gw masukin lagi alat-alat ganti ban ke bagasi sambil ninggalin dongkrak di bawah mobil. Gw harus menunggu hingga hujan agak reda ± 1,5 jam kemudian. Untung ada sandwich dan Aqua yang gw beli sebelum gw berangkat ke Depok jadi bisa lumayan mengisi perut, selebihnya hanya ada BB, radio, dan kursi buat tidur.

Menjelang hujan mau reda, gw ambil payung dan alat ganti ban dari bagasi, dan mulai mendongkrak. Di tengah mendongkrak, gw didatangin sama orang yang nawarin bantuan. Penawaran pertama, dia nawarin untuk masukin ke bengkel, gw tolak dengan halus karena gw bisa ganti ban sendiri. Kedua kali, dia nawarin penawaran yang sama, diulang lagi untuk ketiga kalinya, begitu juga yang keempat, kelima, dst. Setelah gw amatin ternyata dia adalah orang skizofrenia alias orang nggak waras! Kesialan ketiga. Dia merasa bahwa gw adalah kakaknya. Oh, kenapa di saat gw butuh waktu dan konsentrasi untuk ganti ban, malah ada orang seperti ini yang cerita segala macam di samping gw. Gw cuma menanggapi dia ngomong selama 15 menit, udah berasa jadi psikiater dadakan. Begitu gw dan dia selesai mengakhiri percakapan, dia pindah ngomong ke pengendara motor yang menepi di belakang gw untuk memakai jas hujan. Dengan topik pembicaraan yang sama. Haduuh...

Akhirnya gw selesai mengganti ban dan men-drop semua poster ke tempat tujuan. Pulang dari Depok masih harus disambut dengan kemacetan menjelang malam minggu ditambah hujan yang masih mengguyur Depok dan Jakarta Selatan. Total dalam sehari gw menghabiskan waktu menyetir dan diam di mobil 6 jam. Bukan sesuatu yang ingin diulang lagi.

Tuesday, April 19, 2011

IPD = Ilmu Pengkajian & DD

Fiuhhh... Tepat malam ini gw baru aja menyelesaikan ujian pasien IPD gw tadi pagi (ujian pasien terakhir gw sebagai koass), yang berarti hampir lengkap sudah pembelajaran gw di stase IPD. Berarti juga selama 2 minggu ke depan gw bakal stase makan gaji buta (magabut) di sisa modul sambil nunggu ujian tulis. Akan tetapi, itu juga berarti hampir selesai juga sekolah gw dan sebentar lagi bakal nyandang gelar dr. di depan nama gw. Aihhh... Ini dia yang namanya hidup segan, mati tak mau. Jadi coass penat, jadi dokter pun ragu. Daripada pusing, lebih baik ngeblog. (nggak nyambung).

Balik lagi ke topik IPD. Kenapa gw namain IPD sebagai Ilmu Pengkajian & DD (diagnosis diferensial)? Bahkan teman gw secara frontal dan lebay menyebut Ilmu Penuh Derita. Karena memang begitulah adanya. Tugas kami sebagai koass hanyalah anamnesis sebanyak mungkin, PF setajam mungkin, pikirkan semua masalah yang mungkin timbul beserta semua DD-DD-nya dan etiologi-etiologinya, semua perencanaannya baik diagnostik maupun terapi per masalah, serta yang terakhir: tulislah semua di status. Ada yang bilang satu pulpen habis dalam seminggu, tapi saya tegaskan cerita itu berlebihan. Ada yang bilang tangannya kesemutan nulis hingga hampir carpal tunnel syndrome, saya tegaskan cerita itu hampir benar. Menulis 3 status portofolio setiap minggunya hingga pengkajian per masalah dan followup tuntas per hari sudah bikin gw gelagapan di stase ini. Padahal ini nggak ada apa-apanya sama residen yang bisa nulis sampai 16 pasien per hari. Tapi dibanding Obsgyn? Gw lebih suka IPD. Serius.

Masuk IPD berarti juga gw bertemu sama yang namanya pasien dengan prognosis hidup tak lama lagi. Begitu banyak pasien dengan end-stage organ failure di stase ini, dimulai dari CHF (jantung), fibrosis paru dan PPOK (paru), CKD (ginjal), dan sirosis (hati). Jika disuruh milih, sakit mana yang paling mematikan, gw akan memilih sirosis hati sebagai penyakit nomer satu. Padahal gw di masa preklinik menganggap sirosis adalah suatu hal yang nggak berat-berat banget, namun kenyataannya pasien dengan sirosis gampang sekali mengalami perburukan. Apalagi penyebabnya terbanyaknya adalah hepatitis viral kronik yang banyak di masyarakat, nggak ada gejala saat infeksi, dan berjalan progresif dalam waktu lama. Gw pernah punya pengalaman pasien baru didiagnosis sirosis, dua hari kemudian pasien mengalami enselafopati, dan keesokan harinya meninggal. Obatnya pun cuma satu yang paling tepat: transplantasi hati yang baru pertama kali dikerjakan di Indonesia tahun ini. Kebetulan makalah pribadi gw juga bertemakan hepatitis C jadinya gw tertarik sama bidang hepatologi ini.

Yang bikin gw menyerah lagi sama IPD adalah banyak yang harus dipikirkan. Ternyata yang selama ini dibilang diabetes nggak segampang cuma tusuk jari, ambil darah, dan voila  anda diabetes. Pemilihan obat-obatnya pake pertimbangan semua dari yang oral sampai insulin. Sayangnya, nggak cuma DM yang begitu, hipertensi pun nggak sekedar orang ditensi dan voila  diberi captopril. Semua pakai pertimbangan. Pneumonia pun beda dari orang biasa sama orang tua. Bahkan mual pun yang hampir semua dokter ngasih ranitidine dan omeprazole pakai pertimbangan juga. Huaaah capek deh... Tangan kerja berat, otak pun harus kerja lebih berat.