Fiuhhh... Tepat malam ini gw baru aja menyelesaikan ujian pasien IPD gw tadi pagi (ujian pasien terakhir gw sebagai koass), yang berarti hampir lengkap sudah pembelajaran gw di stase IPD. Berarti juga selama 2 minggu ke depan gw bakal stase makan gaji buta (magabut) di sisa modul sambil nunggu ujian tulis. Akan tetapi, itu juga berarti hampir selesai juga sekolah gw dan sebentar lagi bakal nyandang gelar dr. di depan nama gw. Aihhh... Ini dia yang namanya hidup segan, mati tak mau. Jadi coass penat, jadi dokter pun ragu. Daripada pusing, lebih baik ngeblog. (nggak nyambung).
Balik lagi ke topik IPD. Kenapa gw namain IPD sebagai Ilmu Pengkajian & DD (diagnosis diferensial)? Bahkan teman gw secara frontal dan lebay menyebut Ilmu Penuh Derita. Karena memang begitulah adanya. Tugas kami sebagai koass hanyalah anamnesis sebanyak mungkin, PF setajam mungkin, pikirkan semua masalah yang mungkin timbul beserta semua DD-DD-nya dan etiologi-etiologinya, semua perencanaannya baik diagnostik maupun terapi per masalah, serta yang terakhir: tulislah semua di status. Ada yang bilang satu pulpen habis dalam seminggu, tapi saya tegaskan cerita itu berlebihan. Ada yang bilang tangannya kesemutan nulis hingga hampir carpal tunnel syndrome, saya tegaskan cerita itu hampir benar. Menulis 3 status portofolio setiap minggunya hingga pengkajian per masalah dan followup tuntas per hari sudah bikin gw gelagapan di stase ini. Padahal ini nggak ada apa-apanya sama residen yang bisa nulis sampai 16 pasien per hari. Tapi dibanding Obsgyn? Gw lebih suka IPD. Serius.
Masuk IPD berarti juga gw bertemu sama yang namanya pasien dengan prognosis hidup tak lama lagi. Begitu banyak pasien dengan end-stage organ failure di stase ini, dimulai dari CHF (jantung), fibrosis paru dan PPOK (paru), CKD (ginjal), dan sirosis (hati). Jika disuruh milih, sakit mana yang paling mematikan, gw akan memilih sirosis hati sebagai penyakit nomer satu. Padahal gw di masa preklinik menganggap sirosis adalah suatu hal yang nggak berat-berat banget, namun kenyataannya pasien dengan sirosis gampang sekali mengalami perburukan. Apalagi penyebabnya terbanyaknya adalah hepatitis viral kronik yang banyak di masyarakat, nggak ada gejala saat infeksi, dan berjalan progresif dalam waktu lama. Gw pernah punya pengalaman pasien baru didiagnosis sirosis, dua hari kemudian pasien mengalami enselafopati, dan keesokan harinya meninggal. Obatnya pun cuma satu yang paling tepat: transplantasi hati yang baru pertama kali dikerjakan di Indonesia tahun ini. Kebetulan makalah pribadi gw juga bertemakan hepatitis C jadinya gw tertarik sama bidang hepatologi ini.
Yang bikin gw menyerah lagi sama IPD adalah banyak yang harus dipikirkan. Ternyata yang selama ini dibilang diabetes nggak segampang cuma tusuk jari, ambil darah, dan voila anda diabetes. Pemilihan obat-obatnya pake pertimbangan semua dari yang oral sampai insulin. Sayangnya, nggak cuma DM yang begitu, hipertensi pun nggak sekedar orang ditensi dan voila diberi captopril. Semua pakai pertimbangan. Pneumonia pun beda dari orang biasa sama orang tua. Bahkan mual pun yang hampir semua dokter ngasih ranitidine dan omeprazole pakai pertimbangan juga. Huaaah capek deh... Tangan kerja berat, otak pun harus kerja lebih berat.
No comments:
Post a Comment