Baru-baru ini saya disadarkan kembali tentang pentingnya bersyukur. Memang seperti sifat manusia, bersyukur itu seringkali dilakukan di saat roda kehidupan sedang di bawah. Apabila di atas? Kebanyakan orang lupa tentang pentingnya syukur. Tetapi saya sendiri juga tidak tahu apakah saya sekarang sedang di atas, di bawah, atau mungkin di tengah-tengah roda. Yang jelas, perasaan ini timbul saat saya memang sedang terpapar ke orang lain yang seharusnya membuat saya lebih introspeksi diri kembali.
Seperti di blog saya sebelumnya, cerita-cerita yang dimuat di sini hampir selalu idenya muncul secara spontan. Dan biasanya, saya bercerita tentang kesibukan saya pada saat saya menulis blog. Kebetulan saat ini, saya sedang menjalani kehidupan residen baru di rumah-sakit-yang-katanya-pusat-rujukan-nasional. Itu rasa syukur yang pertama. Akhirnya saya mendapatkan kesempatan untuk sekolah kembali. Bagi saya, pendidikan merupakan investasi terbesar dibanding apapun, jadi bersyukurlah orang yang masih mau untuk belajar. Tentu di balik kehidupan residen, yang katanya adalah fase hidup yang paling rendah dalam kehidupan dokter, ada suka dukanya. Saya belum mengalami banyak hal, tetapi sedikit saya akhirnya terpapar dengan cerita-cerita di balik kehidupan residen. Dan sebagian cerita tersebut mampu membuat saya bertanya, apakah memang benar saya mampu menjalani ini, atau apakah sudah tepat jalan yang saya ambil. Belajar selalu membutuhkan komitmen kuat.
Konsekuensi lain bila belajar kembali di rumah sakit tersebut adalah menemui pasien-pasien yang memang berada di level kesehatan tersier. Banyak hal yang membuat ragu untuk menjalani sekolah kembali, namun justru melihat pasien-pasien tersebut dalam kondisi yang membutuhkan pertolongan membuat niat dapat mengalahkan keraguan tersebut. Ini adalah rasa syukur yang kedua. Sungguh berbeda profil pasien di rumah sakit ini dengan rumah sakit tempat saya bekerja sebelumnya. Beberapa pasien di bangsal perawatan biasa mungkin merupakan pasien ICU bila ditempatkan di rumah sakit sebelumnya. Melihat orang tua pasien yang begitu berjuang dan semangat, bahkan hingga pasien meninggal, siapa yang tidak tergerak hatinya untuk mensyukuri hidup, apalagi bila mereka adalah keluarga yang tidak mampu.
Sebagian besar kehidupan pasien-pasien di rumah sakit ini tentu berbeda dengan saya, yang selalu diberi kemudahan, jarang (atau malah belum pernah) diberi cobaan yang berat. Dulu saat kerja, saya selalu mengeluh bahwa gaji yang didapat tidak seberapa, tidak sebanding dengan pekerjaan dan risiko yang dihadapi. Justru sekarang saya harus rela hidup tanpa gaji dengan jumlah pasien (di semester mendatang) yang jauh lebih banyak dan jam kerja lebih banyak. Tapi itu tetap tidak sebanding dengan mereka yang terbaring di rumah sakit karena penyakitnya. Saya masih memiliki keluarga yang lengkap dan mampu mendukung saya. Saya masih memiliki teman-teman yang setia kawan, mau ditanya dan memberi masukan. Saya masih memiliki sistem kehidupan yang mendorong saya untuk mencapai yang saya inginkan, bukannya melawan keinginan saya. Ini rasa syukur yang ketiga.
Sebagai penutup postingan ini, ada satu hal yang tidak boleh kita lupakan, bahwa bersyukur tidak cukup hanya di dalam hati atau diucapkan dengan kata-kata, tetapi juga harus diimplementasikan dalam perbuatan dengan bermanfaat bagi orang lain. Dengan begitu kita dapat bahagia dengan cara yang sederhana dan murah. Saya ingin mengutip kata-kata dari orang lain bahwa kebahagiaan itu mirip orang yang bersyukur. Dan sudah sepatutnya kita mulai bersyukur dari hal yang kecil dengan mulai mencintai apa yang telah kita miliki.
*edisi wise
No comments:
Post a Comment