Berhubung pas malem ini lagi jaga malam yang tenang di RS, dan kebetulan hujan deres jadi relatif tenang dan ada waktu luang, gw mau berbagi pengalaman tentang sistem rujukan di Indonesia (yang gw tahu). Biasanya, rujukan antar RS dilakukan kalo ada perbedaan fasilitas antara RS asal dengan RS tujuan supaya pasien bisa ditangani dengan lebih lengkap.
Alur proses rujukan antar RS biasanya dimulai dengan penilaian dokter di RS asal untuk menentukan dirujuk atau tidak. Kemudian RS asal menghubungi RS tujuan untuk menanyakan tempat dan menjelaskan maksud rujukan. Apabila RS tujuan sudah menyanggupi menerimanya secara medis, keluarga pasien biasanya membicarakan proses administrasi dengan RS tujuan. Setelah semua beres, barulah pasien dirujuk dengan memakai ambulans. Selain rujukan dengan ambulans, ada juga jenis rujukan (yang kurang etis) yang tidak memakai ambulans atau pasien sekedar dilepas begitu saja, sehingga sering dinamakan rujuk lepas.
Gw sendiri kalo menerima kasus rujukan biasanya menimbang masalah medisnya dulu buat dinilai pasien butuh apa. Kasus rujukan bisa ringan bisa juga berat. Rujukan akan menyenangkan bila dokter di RS asal melaporkan kondisi pasien secara aktual. Kasus sebaliknya misalnya, pasien dilaporkan sadar penuh saat akan berangkat pola nafasnya baik, ternyata saat sampai kesadarannya menurun dan sesak. Apa yang terjadi kemudian? RS tujuan akan marah-marah ke RS asal, IGD kalang kabut, dan ujung-ujungnya pasien terlambat ditangani.
Kasus rujukan yang ngeselin juga adalah kalo pasien bayi (prematur) yang dirujuk ujug-ujug sementara udah dilahirin dengan sesar di RS asal. Padahal, kendaraan yang paling baik untuk merujuk bayi prematur adalah rahim si ibu, jadi sebisa mungkin bayi yang kemungkinan besar akan lahir prematur seharusnya dilahirkan di RS yang memiliki fasilitas perawatan intensif bayi baru lahir.
Berikut ini beberapa jenis rujukan yang ada di Indonesia.
1. Tidak ada/kurang fasilitas
Ini biasanya alasan rujukan yang paling klasik dan sekaligus paling sering. Fasilitas ini bisa macam-macam, dari fasilitas ruangan (ICU, PICU, NICU), tenaga ahli (dokter subspesialis, dokter bedah spesialistik), atau peralatan penunjang (CT scan, USG, kemoterapi, dll). Kalo RS asal menjelaskan dengan benar kondisi pasien dan fasilitas yang dibutuhkan ke RS tujuan dengan benar maka akan memudahkan proses rujukan. Bila tidak, ujung-ujungnya pasien bisa dipingpong kembali ke RS lain yang akhirnya menyusahkan pasien.
2. Atas permintaan sendiri (APS)
Rujuk APS merupakan alasan rujuk yang datangnya dari pasien dan/atau keluarganya. Belum tentu ada perbedaan fasilitas antara RS asal dan tujuan. Alasan dari keluarga yang paling klasik biasanya adalah pelayanan dari RS asal tidak memuaskan, atau sakitnya si pasien tidak sembuh-sembuh sehingga butuh second opinion. Alasan lain biasanya adalah karena rumah si pasien lebih dekat sama RS tujuan. Nah, yang umum lagi biasanya adalah faktor biaya. Yang tipe jenis rujuk APS ini kondisi pasien biasanya nggak sejelek seperti tipe rujuk yang nggak ada fasilitas.
3. Ruangan penuh
Tipe rujukan yang karena ruangan penuh adalah tipe bagi-bagi rejeki ke RS tetangga. Biasanya RS asal adalah RS favorit banyak orang yang nggak peduli musim apa pasiennya selalu membludak. Atau RS asal adalah RS umum yang kuota kamar untuk pasien jaminan sudah habis. Kondisi pasien bisa bervariasi dari yang ringan atau yang berat sekalipun.
Terlepas dari baik buruknya sistem rujukan di Indonesia, diharapkan masyarakat awam mengerti dan dapat memilah-milah tempat perawatan yang pas untuk pasien sehingga pasien tidak perlu terlalu banyak dipindahkan antar RS. Second opinion ke dokter keluarga atau kerabat yang dokter kadang diperlukan untuk menentukan hal tersebut.
No comments:
Post a Comment