Siang itu, gw bersama keempat teman gw, I, L, dan C, sedang berjalan cepat dari Gedung A RSCM lantai 7 untuk menuju ke Departemen Radiologi. Saat itu ronde telah selesai dan kami terburu-buru untuk turun melewati lift Departemen THT di lantai 7 juga.
Di depan lift, selesai memencet tombol turun, kami secara tiba-tiba bertemu dr. N, koordinator S1 kami di fakultas.
dr. N: Kamu tingkat berapa?
Gw: Tingkat V, Dok.
dr. N: Setahu saya snelli mahasiswa itu panjang lengan panjang ya, apa aturannya udah berubah?
Gw, I, L, C: (diam sambil jantung berdegup cepat tanda menyesal udah lewat jalan itu)
dr. N: Dari sini sepertinya yang benar snellinya cuma satu.
(karena C memakai snelli lengan panjang waktu itu karena snelli lengan pendeknya lagi dicuci - hoki maksimal)
(lift terbuka dan kami berlima terpaksa masuk, sialnya tidak ada orang lain di dalam lift itu, pembicaraan pun berlanjut)
dr. N: Berarti dapat saya simpulkan bahwa kalian memang suka melanggar aturan ya?
Gw, I, L, C: (masih terdiam)
dr. N: Siapa nama kamu?
I: I, Dok.
dr. N: Kamu?
L: L, Dok.
dr. N: Nama lengkap?
L: N, Dok.
dr. N: Kamu?
Gw: H, Dok.
(lift terbuka dan pembicaraan pun berakhir)
Keesokan harinya, gw sekelompok mendapat kabar kalo nama-nama mahasiswa yang tertangkap basah kemarin menggunakan snelli lengan pendek sudah tersebar di kalangan kodik S1 semua departemen.
Hikmah cerita ini:
- Snelli lengan pendek terbukti lebih mencegah infeksi nosokomial daripada snelli lengan panjang dalam studi literatur.
- Bila salah jalan dan masalah sudah di depan anda, carilah jalan lain dengan cara kabur.
- Copotlah snelli anda bila sedang tidak memeriksa pasien. Cara ini paling aman.
Thursday, March 31, 2011
Sorry, Obsgyn
Gw mestinya udah memposting ini dari 4 minggu yang lalu, namun karena berbagai kesibukan akhirnya tertunda selama sekian lama.
Kadangkala ada suatu bagian di dalam profesi dokter yang mungkin bersifat tabu bagi orang awam, namun bagi dokter itu adalah sesuatu yang lumrah dikerjakan. Hal ini sangat terkait dengan kepaniteraan yang baru gw jalani yaitu Obstetri dan Ginekologi (Obsgyn). Di sini dokter justru mendapat ucapan terima kasih dan upah pada hal yang terlarang dilakukan oleh orang lain.
Meskipun begitu, gw nggak suka Obsgyn. Saking nggak sukanya sampai gw bener-bener nggak mau baca buku, cuma nyari tindakan-tindakan aja, dan pingin keluar cepet-cepet dari stase ini. Entah apa yang mendasarinya, yang jelas gw nggak suka dengan hal-hal yang saklek seperti Obsgyn, karena ilmunya bisa dikatakan dari dulu sampai sekarang sama aja. Apalagi ditambah dengan aroma kesenioran di dalamnya. Yang membuat gw seneng dari Obsgyn cuma karena ada kebutuhan untuk melengkapi skill partus normal di pengetahuan dokter gw.
Walupun ada iming-iming kalo jadi dokter Obsgyn pasti cepet kaya, gw tetap nggak tertarik. Gw nggak tertarik juga untuk dipanggil secara cito tengah malam menjelang subuh kalo ada pasien yang mau partus.
Sejauh ini, stase di rumah-rumah sakit luar jadi favorit gw di Obsgyn. Pertama, gw mendapatkan langsung untuk terlibat dalam penanganan pasien, nggak melulu cuma tensi, cek DJJ (denyut jantung janin, dan CTG (cardiotocography) aja seperti di rumah sakit pusat. Yang kedua, bisa menjauhkan diri dari hiruk pikuk Diponegoro 71 yang dipenuhsesakkan oleh profesor, konsulen, dan residen.
Waktu ujian pasien pun gw merasa bersalah kalo gw cuma belajar dikit banget buat Obsgyn. Ditanya ini itu jawabnya belepotan dan alhasil si penguji (keduanya dari staf pengajar onkoginekologi) cuma geleng-geleng sambil berkata, "Saya tahu bakat kamu memang bukan di Obsgyn, mungkin bakat kamu di tempat lain karena setiap orang memang memiliki bakat masing-masing."
Kadangkala ada suatu bagian di dalam profesi dokter yang mungkin bersifat tabu bagi orang awam, namun bagi dokter itu adalah sesuatu yang lumrah dikerjakan. Hal ini sangat terkait dengan kepaniteraan yang baru gw jalani yaitu Obstetri dan Ginekologi (Obsgyn). Di sini dokter justru mendapat ucapan terima kasih dan upah pada hal yang terlarang dilakukan oleh orang lain.
Meskipun begitu, gw nggak suka Obsgyn. Saking nggak sukanya sampai gw bener-bener nggak mau baca buku, cuma nyari tindakan-tindakan aja, dan pingin keluar cepet-cepet dari stase ini. Entah apa yang mendasarinya, yang jelas gw nggak suka dengan hal-hal yang saklek seperti Obsgyn, karena ilmunya bisa dikatakan dari dulu sampai sekarang sama aja. Apalagi ditambah dengan aroma kesenioran di dalamnya. Yang membuat gw seneng dari Obsgyn cuma karena ada kebutuhan untuk melengkapi skill partus normal di pengetahuan dokter gw.
Walupun ada iming-iming kalo jadi dokter Obsgyn pasti cepet kaya, gw tetap nggak tertarik. Gw nggak tertarik juga untuk dipanggil secara cito tengah malam menjelang subuh kalo ada pasien yang mau partus.
Sejauh ini, stase di rumah-rumah sakit luar jadi favorit gw di Obsgyn. Pertama, gw mendapatkan langsung untuk terlibat dalam penanganan pasien, nggak melulu cuma tensi, cek DJJ (denyut jantung janin, dan CTG (cardiotocography) aja seperti di rumah sakit pusat. Yang kedua, bisa menjauhkan diri dari hiruk pikuk Diponegoro 71 yang dipenuhsesakkan oleh profesor, konsulen, dan residen.
Waktu ujian pasien pun gw merasa bersalah kalo gw cuma belajar dikit banget buat Obsgyn. Ditanya ini itu jawabnya belepotan dan alhasil si penguji (keduanya dari staf pengajar onkoginekologi) cuma geleng-geleng sambil berkata, "Saya tahu bakat kamu memang bukan di Obsgyn, mungkin bakat kamu di tempat lain karena setiap orang memang memiliki bakat masing-masing."
Subscribe to:
Posts (Atom)