Maka oleh karena daripada itu, di pertengahan Januari ini gw sangat beruntung dapat jadwal kosong yang lumayan banyak hasil transaksi tuker jadwal jaga sama teman. Dan gw nggak akan menyia-nyiakannya untuk liburan yang pendek tapi padat. Pilihan jatuh ke Jawa Barat bagian selatan, gw belum pernah ke sana kecuali ke Pangandaran yang ceritanya udah pernah gw tulis di blog ini. Basecamp untuk perjalanan kali ini gw tetapkan di kota kecil Palabuhanratu, karena ada teman-teman gw yang internship juga di sana. Pilihan destinasi ada 2: Ujung Genteng dan Sawarna. Keduanya nggak mungkin dijalani bareng kecuali perjalanan mau dilakukan seminggu lebih. Setelah searching, akhirnya pilihan jatuh ke Sawarna. Semula gw mau jalan sendiri, ngerasain backpacking sendiri, nggak disangka teman gw Fatia ikut juga gara-gara diajak sama cowoknya Fadhil yang emang kebetulan di Palabuhanratu. Jadilah Fatia gw paksa ikut naik kendaraan umum dari Jakarta ke Palabuhanratu.
Perjalanan dimulai di stasiun Cawang. Berbekal tiket commuter line seharga Rp 7 ribu, perjalanan Jakarta-Bogor cuma ditempuh 40 menit. Dari stasiun Bogor naik angkot 03 jurusan Bubulak-Baranangsiang untuk selanjutnya naik bus MGI jurusan Bogor-Palabuhanratu di terminal Baranangsiang seharga Rp 25 ribu. Berhubung waktu udah makin sore, jadilah kami berdua nggak sempet makan siang di Bogor. Bus MGI ini full AC dan full music, tapi tarikannya lambat banget dan nggak bisa ngebut. Alhasil perjalanan Bogor-Palabuhanratu ditempuh dalam waktu 4 jam. Untung gw sempet tidur gara-gara efek jaga malam sebelum berangkat. Sampai di Palabuhanratu, ngasih surprise buat teman gw Diko yang lagi ultah, kami semua makan dan langsung tidur.
Keesokan harinya gw diajak trip di RSUD Palabuhanratu sama Fadhil. RS-nya lebih luas daripada RS gw, jumlah spesialis lebih sedikit, suasananya lebih tenang, dan udaranya masih seger. Setelah makan pagi di RS, kami bertiga berangkat naik sedannya Fadhil. Gw menyetir. Di tengah jalan menjelang Bayah, gw melintasi rombongan anak SD di kiri gw yang lagi pulang sekolah, tiba-tiba ada 1 anak yang nyebrang sambil lari tiba-tiba di depan mobil. Sempat ngerem, gw pun menabrak anak ini dan dia kelempar sekitar 5 meter. Habis jatuh, si Asep ini langsung lari ke rumahnya, gw teriak manggil dia dan nyamperin tapi dia tetep kabur sambil nangis. Dibantu warga gw berhasil ke rumahnya anak itu. Setelah ngenalin kalo gw dokter (inilah salah satu enaknya dokter) dan periksa-periksa dikit untuk menyingkirkan fraktur, gw menyarankan kalo Asep dibawa ke puskesmas untuk dibersihin lukanya. Gw cuma bawa obat asam mefenamat dan loratadine, Fatia bawa stetoskop, nggak ada yang bawa amoxicillin atau bahkan kasa dan betadine. Gw bawalah anak itu ke Puskesmas Bayah untuk diobatin dengan gratis (mungkin karena gw ngenalin ke sana sebagai dokter), dan dengan delay 1 jam, kami langsung cabut ke Sawarna.
Perjalanan ke Sawarna diawali naik bukit dulu dengan jalanan yang rusak terus langsung turun ke Sawarna. Jarak dari jalan raya mungkin sekitar 10 km. Pintu gerbang Sawarna langsung dapat dikenali dari adanya jembatan gantung di atas sungai. Setelah parkir, gw langsung masuk untuk survey sekaligus cari penginapan. Hari itu bukan hari libur jadi desa Sawarna sepi banget, yang ada cuma penduduk asli. Gw sendiri begitu masuk sempat kecewa ternyata desa Sawarna sekilas seperti desa-desa lainnya di Jawa. Lebih dekat ke pantai, baru mulai banyak homestay yang masih kosong karena bukan hari libur. Setelah pilih-pilih akhirnya gw memilih homestay Javabeach yang satu-satunya punya lantai 2 dan ada beranda yang langsung hadap ke sawah. Penginapan di Sawarna sistemnya bukan bayar per kamar, tapi bayar per orang dengan layanan makan 3 kali sehari.
Kekecewaan itu terobati keesokan harinya. Berbekal browsing di internet saat di Jakarta, gw memutuskan untuk berkeliling sambil nyewa guide bernama Bimbim dengan biaya Rp 100 ribu, lebih baik bayar agak mahal daripada tersesat di Sawarna. Perjalanan pertama ke gua Lalay, sebutan kelelawar dalam bahasa Sunda, ditempuh dengan menyusuri jalan utama di depan jembatan Sawarna ke arah timur. Setelah melewati tiang telekomunikasi, belok ke jalan kecil di kanan jalan dan menyusuri pematang sawah, jalan di pinggir kali, menyeberang jembatan gantung, menyusuri pematang sawah lagi, baru sampai di pintu masuk gua yang ada di sungai kecil. Peralatan wajib yang kudu dibawa: senter, karena masuk ke dalam gua bisa dalam banget sampai 200 meter secara horizontal melewati sungai kecil dan lumpur. Makin ke dalam, bau kotoran kelelawar makin menyengat. Sebenarnya bisa juga masuk ke lebih dalam lagi asal perlengkapan caving yang dibawa lengkap. Setelah 30 menit menyusuri gua baru kami keluar dan menuju tujuan selanjutnya yaitu pantai Lagoan Pari.
Jalan dari gua Lalay ke pantai Lagoan Pari cukup jauh, mungkin sekitar 4-5 km. Dari gua Lalay harus jalan lewat pematang sawah lagi, menyeberangi sungai yang dangkal, kemudian naik bukit mengikuti aliran air, menyusuri pematang sawah lagi, terus turun bukit dan melewati kebun kelapa. Kecapekan, kepanasan, dan sakit di kaki, bukan karena betis yang sakit tapi karena sandal berlumpur terobati begitu sampai di pantai Lagoan Pari. Saat kami datang, hanya kami bertiga pengunjung pantai tersebut, sehingga seperti pantai pribadi. Pasirnya landai dan ombaknya relatif lebih tenang nggak seperti pantai selatan lainnya membuat gw ikut nyemplung di pantai. Apalagi ditambah kelapa muda yang baru dipetik. Di sisi timur Lagoan Pari ada deretan karang yang membatasi Lagoan Pari dengan samudera yang disebut Karang Taraje, salah satu titik sunrise. Setelah puas bermain pantai, akhirnya gw harus jalan ke pantai Tanjung Layar yang harus ditempuh melalui pinggir pantai dan kebun kelapa sejauh 2 km. Perjalanan ini juga menantang karena kadang harus melewati karang di pantai, dan lebih susah kalo laut sedang pasang. Sesampainya di pantai Tanjung Layar, yang ditandai sama 2 batu besar di tengah laut dan dibatasi sama jejeran karang di belakangnya, gw istirahat lagi untuk menikmati pantai Sawarna. Lagi-lagi kami satu-satunya pengunjung di sana. Setalah makan siang sebentar, kami pun balik ke pantai Ciantir sejauh 2 km menyusuri pantai melewati surfing spot yang disebut Sawarna Point. Pantai Ciantir merupakan pantai terdekat ke desa Sawarna, jaraknya kira-kira 500 meter dari penginapan kami. Sunset dapat dinikmati di pantai Ciantir ini. Malam hari karena nggak ada TV sama sekali kami habiskan dengan bermain badminton dan menikmati angin malam di penginapan.
Keesokan paginya kami jalan ke muara sungai Sawarna yang bentuknya berkelok. Pemandangannya cukup bagus walaupun saat itu cuaca mendung. Kami pun pulang cepat dari Sawarna agar bisa makan siang di Palabuhanratu. 1,5 jam lamanya perjalanan Sawarna-Palabuhanratu, tentu tanpa insiden menabrak anak kecil lagi. Di Palabuhanratu ada warung makan enak yang menghidangkan ikan jangilus (marlin) bakar seukuran steak, warung Geksor, terletak di dalam terminal Palabuhanratu. Dengan harga yang relatif murah, gw dapat makan dengan kenyang dan enak. Fadhil dan Fatia pulang duluan ke Jakarta karena harus mengejar jadwal jaganya Fatia di malamnya, sementara gw karena masih capek dan males pulang menunggu keesokan harinya. Esoknya gw pulang bareng teman gw Darrell yang dengan baik hati mengantar gw ke Ciawi. Dari situ gw jalan sendiri ke Bogor untuk keliling sekaligus wisata kuliner sendiri, dan pulang sendiri dengan commuter line.
Perjalanan ini berhasil menghitamkan seluruh kulit gw, kecuali di bagian baju, celana, jam tangan, sama tali sandal, mencoba destinasi baru, dan menghilangkan kebosanan gw untuk sementara.
Si Asep |
Lagoan Pari |
Tanjung Layar |
Sunset di Ciantir |
Penginapan Javabeach |
Jembatan gantung Sawarna |