Thursday, January 24, 2013

Menuju Ujung Barat Pulau Jawa

Perjalanan kali ini yang gw lakuin akhir-akhir ini adalah ke bagian barat Pulau Jawa. Yah, boleh dibilang sebenernya hampir semua bagian Pulau Jawa udah gw jamah sebelumnya, cuma daerah ini aja dan beberapa bagian lagi yang masih belum. Bisa dibilang agak over, karena dalam 2 minggu di bulan Januari gw 2 kali ke ujung Jawa ini. Yang pertama, anti-mainstream karena ngerayain tahun baru di pulau terpencil di Ujung Kulon; yang kedua, karena ikut tim relawan bencana di Pandeglang.

Gw nggak menyia-nyiakan kesempatan ketika ada ajakan dari seorang teman untuk bertahun baru di suatu tempat bernama Ujung Kulon. Sebenernya karena udah bosen ngerayain tahun baru di Jakarta. Di kebanyakan tahun-tahun baru sebelumnya gw sering menghabiskan waktu seperti malam-malam biasanya: di rumah, nonton TV sampai ngantuk, dan kemudian tidur abis ngeliat kembang api dari jauh. Pernah suatu kali, nyoba keluar ke arah Thamrin-Sudirman, macetnya luar biasa dan gw kapok untuk tahun baruan di sana. Tahun sebelumnya malah gw ngehabisin waktu jaga UGD dan nongkrong di atas gedung buat ngelihat kembang api. Jadi, nggak ada salahnya mencoba wisata yang agak beda kali ini.

Karena teman gw bawa teman bulenya juga dari Italia, kami pilih cara mudah untuk bepergian: ikut travel. Sebenarnya susah juga sih kalo mau backpacking sendiri ke Ujung Kulon, ujung-ujungnya jatuhnya mahal. Bepergian pake travel emang menyenangkan, selain nggak perlu mikir itinerary sendiri, nggak perlu mikir akomodasi dan transportnya, makan pun udah dijamin. Kekurangannya ya nggak bisa nentuin tujuan dan durasi dengan bebas, but never mind. Mau berangkat sendiri atau pake travel tempat wisata di Ujung Kulon juga sama aja. Dalam dua hari perjalanan kita bisa dapet Pulau Peucang, Cibom, mercu suar Tanjung Layar, padang rumput Cidaon, dan canoeing di Handeuleum. Begitu kata orang travel.

Perjalanan ini sepertinya nggak bakal berjalan lancar, feeling gw. Dan bener, karena kebiasaan gw packing 2 jam sebelum berangkat, kamera yang udah gw bawa ke mobil ujung-ujungnya nggak kebawa. Jadilah perjalanan ini nggak pake acara foto-foto. Udah gitu awal Januari musim hujan lagi deres-deresnya. Bener aja, perjalanan perahu dari Sumur (desa terakhir di Pulau Jawa untuk ke Ujung Kulon) sampai ke Peucang diserang sama ombak-ombak tinggi. Awalnya cuma 0,5 meter, eh kemudian jadi 1 meter, begitu udah di tengah laut jadi 1,5 meter. Antimo pun nggak bisa mencegah muntahan gw, dan seluruh penumpang beserta bawaannya basah kuyup diterpa ombak selama perjalanan 3-4 jam.

Pulau Peucang sendiri sebenernya pulau yang biasa aja (menurut gw), cuma karena lokasinya yang terisolir jadi tujuan wisata. Di sana cuma ada penginapan yang dikelola sama balai taman nasional tanpa restoran ataupun toko untuk menjual barang sehari-hari. Jadi sangat salah kalo ke Peucang tanpa bawa air minum yang cukup dan snack. Penginapannya sendiri sebenernya cukup bersih. Di tengah penginapan terdapat padang rumput tempat rusa, babi hutan cari makanan. Perjalanan selanjutnya ke Cibom sendiri nggak jauh-jauh amat, cuma ombak Selat Sunda di musim hujan memang menantang. Perjalanan trekking dari Cibom ke Tanjung Layar (the westernmost point of Java) akhirnya dibatalkan gara-gara cuaca yang nggak bersahabat, takutnya nggak bisa pulang. Padang rumput Cidaon pun sama aja. Biasanya di sana jadi tempat banteng, rusa, dan merak ngumpul, cuma gara-gara hujan semuanya menghilang. Snorkling di Selat Peucang pun juga nggak seimpresif snorkling di Flores (ya iyalah!). Apalagi hujan yang deres di tengah laut bikin laut jadi bergejolak dan jarak pandang jadi dekat. Terpaksa memang waktu harus dihabiskan di Pulau Peucang.

Perayaan malam tahun baru sendiri dirayain sederhaa sama BBQ dan kembang api bareng wisatawan lain di Peucang. Keesokan harinya, masih ada waktu untuk snorkling. Untuk pulangnya, teman yang bule udah kapok ngebayangin untuk naik kapal selama 3-4 jam dengan ombak segede gaban. Tapi begitu dikasih tau kalo jalan kaki butuh waktu seminggu akhirnya dia nyerah juga. Tujuan selanjutnya Handeuleum, tujuannya canoeing. Eh, ujung-ujungnya batal juga karena hujan deras menyerang di tengah perjalanan. Jadilah perjalanan ini sebenarnya cuma ngabisin waktu buat pengangguran seperti gw. Nggak ketemu badak juga yang jadi ikon Taman Nasional Ujung Kulon.

Perjalanan yang kedua sebenarnya nggak sejauh perjalanan pertama. Awalnya gara-gara diajak untuk ikut bantuin bencana banjir di Pandeglang. Setelah kumpul di kantor relawan di Ciputat, gw dan 5 orang lainnya berangkat ke Pandeglang cuma modal alamat. Dengan modal Blackberry map juga akhirnya setelah 4 jam nyampe juga di Desa Pagelaran, Pandeglang. Desa ini itungannya udah jau banget dari Jakarta, dekat dengan pantai Labuan. Dari yang awalnya cuma rencana pulang balik sehari, ujung-ujungnya jadi nginep karena akses ke tempat bencana yang masih tinggi ditutup banjir. Oiya, jangan lupa kalo ke daerah Labuan mampir ke rumah makan Bu Entin yang spesialis otak-otak tenggiri, dijamin nggak bakal nyesel. Begitulah, wisata kuliner tetap harus dilakuin walau ada bencana sekalipun.

Keesokan harinya dengan mobil 4WD, banjir itu bisa juga ditembus. Kasihan memang, banyak warga yang masih belum tersentuh bantuan logistik ataupun medis. Sebenarnya para relawan masih butuh tim medis untuk bantuan selama seminggu ke depan, namun apa daya karena masih ada keperluan di Jakarta keesokan harinya kami harus pulang. Banyak cerita-cerita heroik warga di balik bencana banjir ini.

Begitulah rangkuman perjalanan gw ke ujung barat Jawa kemarin. In conclusion, akibat perjalanan sebelumnya yang ke Flores, sekilas Ujung Kulon jadi nggak terlalu bagus menurut gw. Tapi yang mau mencoba terisolasi dengan jarak relatif dekat dari Jakarta, destinasi ini dapat dicoba.


No comments:

Post a Comment