Sunday, January 24, 2010

Singkong dan Keju

Singkong adalah umbi-umbian yang katanya berasal dari Brazil, menyebar ke Indonesia (bisa dibilang juga makanan tradisional), teksturnya keras, kulitnya tebal, dan katanya juga sedikit beracun. Gw sendiri nggak tau cara makan singkong yang paling enak selain digoreng kering, makanya buat pilihan makanan pokok gw memilih singkong di urutan buncit di bawah sagu. Sementara keju adalah makanan turunan hewani, berasal dari Eropa (jelas bukan asli Indonesia), bertekstur lembut-keras, dan memiliki rasa yang unik, sehingga tidak heran banyak orang yang menyukainya. Sementara itu lagi, singkong keju adalah makanan asli entah mana (entah orang Indonesia yang kegirangan nemuin keju, atau orang Eropa yang bereksperimen dengan singkong) yang banyak dijual di pinggir jalan. Kadang diberi tetesan susu manis ataupun bumbu sehingga rasanya semakin enak. Gw cukup suka dengan jajanan satu ini.

Titik.

Whattt???

Kalo postingan ini cuma diakhiri di sini aja lama-lama gw bisa jadi komentator makanan ataupun celebrity chef yang akhir-akhir ini banyak menjamur di TV. Bukan singkong keju ini yang gw maksud, tapi cerita berikutlah yang wajib anda sekalian simak baik-baik!

Gw sekarang kuliah di (katanya sih) jurusan terpopuler di unversitas terpopuler juga di Indonesia. Gw kuliah di bidang ngurusin orang-orang sakit dan sekarang duduk di tingkat 4, yang berarti gw harus mulai membiasakan diri sama yang namanya rumah sakit (co-ass; co=bersama, ass=bokong; silakan artikan sendiri!). Periode co-ass adalah periode yang menentukan dan oleh karena itu, pemilihan kelompok dalam periode ini sangat krusial, di mana kelompok adalah tempat bekerja sama selama setahun ke depan. Sebenernya gw awalnya nggak terlalu suka sama pemilihan kelompok sekarang yang mencampurkan mahasiswa reguler dan internasional ke dalam satu kelompok. Gebleknya gw, pas saatnya awal pemilihan kelompok lewat Siak-New Generation yang katanya canggih itu, gw belum melunasin pembayaran kuliah yang berarti gw harus ngelunasin cepet-cepet supaya bisa daftar, dan berarti lagi gw kalah start sama temen-temen lainnya. Bukan tanpa alasan gw telat, gw sendiri waktu itu emang lagi disibukkan sama yang namanya Liga Medika. Temen-temen gw sesama panitia juga telat daftarnya tapi tetep aja gw yang paling telat. Menjelang akhir deadline, gw segera ke kampus Salemba, ngelunasin pembayaran, daftar ke TU, duduk, nyalain laptop, lihat kelompok di internet, dan hanya tersisa beberapa kursi kosong di beberapa kelompok yang kurang menguntungkan, dan harus minta persetujuan PA! Omg, gw langsung nelpon PA, minta persetujuan baru bisa masukin tuh kuliah. Akhirnya nggak lama kemudian gw lihat lagi di internet. Oh, cuma tersisa kursi kosong di satu kelompok: Emergency, yang itu berarti gw harus ikut kuliah bersama ana-anak kelas internasional. Gw kebayang tiap hari harus pake english, bikin tugas pake english, presentasi pake english, diskusi pake english, bahkan ijin ke toilet pun harus pake english. Inilah akibat kalo nggak memperhatikan deadline pendaftaran!

Stase pertama gw di Emergency aka IGD biasa aja, gw ketemu temen baru tentu dalam suasana internasional. Gw harus membiasakan ngomong english for daily purpose, kenalan temen-temen baru tentu dalam suasana english (cerita stase di klinik gw ceritain lain waktu aja). Ternyata, sekelompok sama kelas internasional itu ada enaknya juga! Hal yang paling enak adalah ketika membuat makalah presentasi kasus (preskas), di bab literature review, tinggal buka e-book yang diinginkan, atau NEJM, atau e-medicine, trus copy bahan yang dimaksud, paste, voila, jadilah satu bab. Hal yang paling nggak enak adalah ketika membuat bab case illustration dan discussion. Siapa yang tau kalo rhonki itu rales, atau pinggang jantung? Bikin bab ini rasanya harus meras otak. Apalagi bikin naskah psikiatri yang bagaikan nulis biografi pasien in english. Huh, gw kira masuk kelas campuran bikin gw expert in english, ternyata nggak ada kemajuan. Gw memang bodoh.

Gw ngelewatin hari-hari stase bareng anak internasional dengan enjoy. Gw semakin dekat dengan mereka. Well, memang kehidupan di Melbourne nggak bisa langsung lepas dari mereka, dan terbukti sulit untuk mengingat pelajaran preklinik ketika harus skip satu tahun di Australia. Dosen-dosen tampaknya ada juga yang baru tau kalo grup ini adalah grup campuran, gado-gado, jadi sebagian juga ngomong english seadanya, lalu minta diskusinya ke bahasa indonesia, entah karena kasihan mahasiswa regulernya atau nggak mampu ngikutin diskusi anak inter yang udah kayak native. Dan tampaknya pula, beberapa dosen dan residen sudah 'waspada' terhadap co-ass inter, entah kenapa. Dan gw merasa hal ini mulai terasa belakangan ini seperti contoh ini:

(Gw dan anak inter mau jaga, masuk ke ruangan)
Residen jaga: kamu co-ass yang jaga malam ini ya?
Gw dan temen: iya dok
Residen: hmmm, kamu keju, dan kamu singkong
Gw: (kaget)
Temen: sebenernya kita ini singkong rasa keju dok...

Yap, itu dia singkong = co-ass reguler dan keju = co-ass inter. Entah dari kapan istilah itu muncul tapi berarti itu bikin diskriminasi di antara anak reguler dan anak inter. Tapi kelompok gw toh tak ambil pusing.

Memang anak reguler rata-rata males buat gabung sama anak inter. Boleh dibilang alasannya suasana akademik di kelas reguler dan internasional berbeda. Gw sendiri pikir kelompok singkong keju malah bikin simbiosis mutualismenya sendiri. Gw dan temen-temen gw yang reguler ngajarin cara pendekatan terhadap dosen, pasien, ngajarin ilmu preklinik lagi, sementara mereka ngajarin kebiasaan bertanya dan open-minded. Karena gw ngerasain banget anak inter itu suka banget nanya ke dosen, bahkan dengan pertanyaan yg gw anggep nggak perlu ditanya lagi. Anak inter memang gw akuin berprinsip tidak ada pertanyaan yang bodoh. Tapi sekali lagi, kita di sini masih belajar dan tujuan kita satu: jadi dokter. Jadi nggak ada salahnya kan saling berbagi nilai positif. Lagian gw enjoy di kelompok klinik gw sekarang.

No comments:

Post a Comment