Akhirnyaaaa!! Setelah masa penantian hampir 1,5 bulan melamar kesana-sini, gw dipanggil untuk kerja di rumah sakit. Keharusan untuk kerja di rumah sakit sebenarnya untuk persyaratan pengalaman klinis sebelum gw sekolah lagi nantinya. Kenapa harus selama itu? Karena gw menetapkan ekspektasi tinggi untuk rumah sakit gw, salah satunya harus punya yang namanya NICU/PICU. Karena alasan ini juga gw menolak beberapa tawaran rumah sakit yang ditawarin sama senior gw.
Proses jadi dokter baru itu lumayan ribet. Pertama, kalo udah punya STR, harus mengurus keanggotaan IDI dulu tergantung wilayah masing-masing. Gw mendaftar ke IDI Jakarta Selatan yang ada di RSUP Fatmawati. Setelah jadi anggota IDI, baru cari tempat praktek dan baru bisa mengurus SIP dengan minta surat rekomendasi dari IDI asal. Kalo tempat prakteknya di wilayah IDI yang lain, harus bikin surat dari IDI asal ke IDI tujuan. Surat rekomendasi ini kemudian ditujukan ke Dinkes setempat untuk pembuatan SIP.
Proses seleksinya sendiri lumayan ribet. Secara umum sih, lebih susah untuk fresh graduate untuk daftar langsung ke rumah sakit swasta daripada dokter yang udah punya pengalaman kerja sebelumnya. Seperti lamaran kerja biasanya, proses ini dimulai dengan mengirim CV dan surat lamaran ke RS yang mau dituju. Bisa dengan 2 cara, kirim secara online atau drop langsung ke RS itu. Kedua, tunggu panggilan, ini yang biasanya butuh waktu lama. Yang ketiga, proses seleksi biasa: psikotest, wawancara medis, wawancara user dan HRD. Nah, RS yang mau gw tuju ini agak banyak prosesnya. Psikotest aja harus dilakuin 2 kali: di induk RS ini dan juga di RSPAD.
Dan akhirnya gw dipanggil untuk kerja, tapi harus menjalani on-the-job training (OJT) dulu di jejaring lain RS tersebut. Gw diterima kerja di sebuah RS yang ada di Jakarta bagian selatan. Bukan wilayah Jakarta lagi sih, jadi perlu perjuangan paling nggak perjalanan selama 0,5-1 jam dari rumah. Tempat OJT gw juga ada di selatan Jakarta juga. Sampai sekarang, udah hampir 2 minggu gw menjalani OJT.
Sebenarnya kalo secara medis, nggak terlalu beda antara kerja di RS ini sama kerja waktu internship. Cuma sekarang gw kerja di RS swasta. Pastinya pasien datang ke sini selain pingin sembuh juga pingin dapat pelayanan yang bagus juga. Jadi mental kerja di sini juga beda sama mental kerja di RSU milik pemerintah. Komplain pasien bukan sesuatu yang bisa ditolerir. Tapi fasilitas untuk dokternya juga lebih, paling nggak untuk makan siang gw nggak perlu keluar duit, dapat snack pagi pula. Gimana bisa diet kalo makan aja terjamin??
Doakan aja ya gw betah di tempat kerja baru gw, dan bisa menambah pengalaman klinis yang berguna buat masa depan gw dan juga orang lain.
Ciao!
Thursday, January 24, 2013
Menuju Ujung Barat Pulau Jawa
Perjalanan kali ini yang gw lakuin akhir-akhir ini adalah ke bagian barat Pulau Jawa. Yah, boleh dibilang sebenernya hampir semua bagian Pulau Jawa udah gw jamah sebelumnya, cuma daerah ini aja dan beberapa bagian lagi yang masih belum. Bisa dibilang agak over, karena dalam 2 minggu di bulan Januari gw 2 kali ke ujung Jawa ini. Yang pertama, anti-mainstream karena ngerayain tahun baru di pulau terpencil di Ujung Kulon; yang kedua, karena ikut tim relawan bencana di Pandeglang.
Gw nggak menyia-nyiakan kesempatan ketika ada ajakan dari seorang teman untuk bertahun baru di suatu tempat bernama Ujung Kulon. Sebenernya karena udah bosen ngerayain tahun baru di Jakarta. Di kebanyakan tahun-tahun baru sebelumnya gw sering menghabiskan waktu seperti malam-malam biasanya: di rumah, nonton TV sampai ngantuk, dan kemudian tidur abis ngeliat kembang api dari jauh. Pernah suatu kali, nyoba keluar ke arah Thamrin-Sudirman, macetnya luar biasa dan gw kapok untuk tahun baruan di sana. Tahun sebelumnya malah gw ngehabisin waktu jaga UGD dan nongkrong di atas gedung buat ngelihat kembang api. Jadi, nggak ada salahnya mencoba wisata yang agak beda kali ini.
Karena teman gw bawa teman bulenya juga dari Italia, kami pilih cara mudah untuk bepergian: ikut travel. Sebenarnya susah juga sih kalo mau backpacking sendiri ke Ujung Kulon, ujung-ujungnya jatuhnya mahal. Bepergian pake travel emang menyenangkan, selain nggak perlu mikir itinerary sendiri, nggak perlu mikir akomodasi dan transportnya, makan pun udah dijamin. Kekurangannya ya nggak bisa nentuin tujuan dan durasi dengan bebas, but never mind. Mau berangkat sendiri atau pake travel tempat wisata di Ujung Kulon juga sama aja. Dalam dua hari perjalanan kita bisa dapet Pulau Peucang, Cibom, mercu suar Tanjung Layar, padang rumput Cidaon, dan canoeing di Handeuleum. Begitu kata orang travel.
Perjalanan ini sepertinya nggak bakal berjalan lancar, feeling gw. Dan bener, karena kebiasaan gw packing 2 jam sebelum berangkat, kamera yang udah gw bawa ke mobil ujung-ujungnya nggak kebawa. Jadilah perjalanan ini nggak pake acara foto-foto. Udah gitu awal Januari musim hujan lagi deres-deresnya. Bener aja, perjalanan perahu dari Sumur (desa terakhir di Pulau Jawa untuk ke Ujung Kulon) sampai ke Peucang diserang sama ombak-ombak tinggi. Awalnya cuma 0,5 meter, eh kemudian jadi 1 meter, begitu udah di tengah laut jadi 1,5 meter. Antimo pun nggak bisa mencegah muntahan gw, dan seluruh penumpang beserta bawaannya basah kuyup diterpa ombak selama perjalanan 3-4 jam.
Pulau Peucang sendiri sebenernya pulau yang biasa aja (menurut gw), cuma karena lokasinya yang terisolir jadi tujuan wisata. Di sana cuma ada penginapan yang dikelola sama balai taman nasional tanpa restoran ataupun toko untuk menjual barang sehari-hari. Jadi sangat salah kalo ke Peucang tanpa bawa air minum yang cukup dan snack. Penginapannya sendiri sebenernya cukup bersih. Di tengah penginapan terdapat padang rumput tempat rusa, babi hutan cari makanan. Perjalanan selanjutnya ke Cibom sendiri nggak jauh-jauh amat, cuma ombak Selat Sunda di musim hujan memang menantang. Perjalanan trekking dari Cibom ke Tanjung Layar (the westernmost point of Java) akhirnya dibatalkan gara-gara cuaca yang nggak bersahabat, takutnya nggak bisa pulang. Padang rumput Cidaon pun sama aja. Biasanya di sana jadi tempat banteng, rusa, dan merak ngumpul, cuma gara-gara hujan semuanya menghilang. Snorkling di Selat Peucang pun juga nggak seimpresif snorkling di Flores (ya iyalah!). Apalagi hujan yang deres di tengah laut bikin laut jadi bergejolak dan jarak pandang jadi dekat. Terpaksa memang waktu harus dihabiskan di Pulau Peucang.
Perayaan malam tahun baru sendiri dirayain sederhaa sama BBQ dan kembang api bareng wisatawan lain di Peucang. Keesokan harinya, masih ada waktu untuk snorkling. Untuk pulangnya, teman yang bule udah kapok ngebayangin untuk naik kapal selama 3-4 jam dengan ombak segede gaban. Tapi begitu dikasih tau kalo jalan kaki butuh waktu seminggu akhirnya dia nyerah juga. Tujuan selanjutnya Handeuleum, tujuannya canoeing. Eh, ujung-ujungnya batal juga karena hujan deras menyerang di tengah perjalanan. Jadilah perjalanan ini sebenarnya cuma ngabisin waktu buat pengangguran seperti gw. Nggak ketemu badak juga yang jadi ikon Taman Nasional Ujung Kulon.
Perjalanan yang kedua sebenarnya nggak sejauh perjalanan pertama. Awalnya gara-gara diajak untuk ikut bantuin bencana banjir di Pandeglang. Setelah kumpul di kantor relawan di Ciputat, gw dan 5 orang lainnya berangkat ke Pandeglang cuma modal alamat. Dengan modal Blackberry map juga akhirnya setelah 4 jam nyampe juga di Desa Pagelaran, Pandeglang. Desa ini itungannya udah jau banget dari Jakarta, dekat dengan pantai Labuan. Dari yang awalnya cuma rencana pulang balik sehari, ujung-ujungnya jadi nginep karena akses ke tempat bencana yang masih tinggi ditutup banjir. Oiya, jangan lupa kalo ke daerah Labuan mampir ke rumah makan Bu Entin yang spesialis otak-otak tenggiri, dijamin nggak bakal nyesel. Begitulah, wisata kuliner tetap harus dilakuin walau ada bencana sekalipun.
Keesokan harinya dengan mobil 4WD, banjir itu bisa juga ditembus. Kasihan memang, banyak warga yang masih belum tersentuh bantuan logistik ataupun medis. Sebenarnya para relawan masih butuh tim medis untuk bantuan selama seminggu ke depan, namun apa daya karena masih ada keperluan di Jakarta keesokan harinya kami harus pulang. Banyak cerita-cerita heroik warga di balik bencana banjir ini.
Begitulah rangkuman perjalanan gw ke ujung barat Jawa kemarin. In conclusion, akibat perjalanan sebelumnya yang ke Flores, sekilas Ujung Kulon jadi nggak terlalu bagus menurut gw. Tapi yang mau mencoba terisolasi dengan jarak relatif dekat dari Jakarta, destinasi ini dapat dicoba.
Gw nggak menyia-nyiakan kesempatan ketika ada ajakan dari seorang teman untuk bertahun baru di suatu tempat bernama Ujung Kulon. Sebenernya karena udah bosen ngerayain tahun baru di Jakarta. Di kebanyakan tahun-tahun baru sebelumnya gw sering menghabiskan waktu seperti malam-malam biasanya: di rumah, nonton TV sampai ngantuk, dan kemudian tidur abis ngeliat kembang api dari jauh. Pernah suatu kali, nyoba keluar ke arah Thamrin-Sudirman, macetnya luar biasa dan gw kapok untuk tahun baruan di sana. Tahun sebelumnya malah gw ngehabisin waktu jaga UGD dan nongkrong di atas gedung buat ngelihat kembang api. Jadi, nggak ada salahnya mencoba wisata yang agak beda kali ini.
Karena teman gw bawa teman bulenya juga dari Italia, kami pilih cara mudah untuk bepergian: ikut travel. Sebenarnya susah juga sih kalo mau backpacking sendiri ke Ujung Kulon, ujung-ujungnya jatuhnya mahal. Bepergian pake travel emang menyenangkan, selain nggak perlu mikir itinerary sendiri, nggak perlu mikir akomodasi dan transportnya, makan pun udah dijamin. Kekurangannya ya nggak bisa nentuin tujuan dan durasi dengan bebas, but never mind. Mau berangkat sendiri atau pake travel tempat wisata di Ujung Kulon juga sama aja. Dalam dua hari perjalanan kita bisa dapet Pulau Peucang, Cibom, mercu suar Tanjung Layar, padang rumput Cidaon, dan canoeing di Handeuleum. Begitu kata orang travel.
Perjalanan ini sepertinya nggak bakal berjalan lancar, feeling gw. Dan bener, karena kebiasaan gw packing 2 jam sebelum berangkat, kamera yang udah gw bawa ke mobil ujung-ujungnya nggak kebawa. Jadilah perjalanan ini nggak pake acara foto-foto. Udah gitu awal Januari musim hujan lagi deres-deresnya. Bener aja, perjalanan perahu dari Sumur (desa terakhir di Pulau Jawa untuk ke Ujung Kulon) sampai ke Peucang diserang sama ombak-ombak tinggi. Awalnya cuma 0,5 meter, eh kemudian jadi 1 meter, begitu udah di tengah laut jadi 1,5 meter. Antimo pun nggak bisa mencegah muntahan gw, dan seluruh penumpang beserta bawaannya basah kuyup diterpa ombak selama perjalanan 3-4 jam.
Pulau Peucang sendiri sebenernya pulau yang biasa aja (menurut gw), cuma karena lokasinya yang terisolir jadi tujuan wisata. Di sana cuma ada penginapan yang dikelola sama balai taman nasional tanpa restoran ataupun toko untuk menjual barang sehari-hari. Jadi sangat salah kalo ke Peucang tanpa bawa air minum yang cukup dan snack. Penginapannya sendiri sebenernya cukup bersih. Di tengah penginapan terdapat padang rumput tempat rusa, babi hutan cari makanan. Perjalanan selanjutnya ke Cibom sendiri nggak jauh-jauh amat, cuma ombak Selat Sunda di musim hujan memang menantang. Perjalanan trekking dari Cibom ke Tanjung Layar (the westernmost point of Java) akhirnya dibatalkan gara-gara cuaca yang nggak bersahabat, takutnya nggak bisa pulang. Padang rumput Cidaon pun sama aja. Biasanya di sana jadi tempat banteng, rusa, dan merak ngumpul, cuma gara-gara hujan semuanya menghilang. Snorkling di Selat Peucang pun juga nggak seimpresif snorkling di Flores (ya iyalah!). Apalagi hujan yang deres di tengah laut bikin laut jadi bergejolak dan jarak pandang jadi dekat. Terpaksa memang waktu harus dihabiskan di Pulau Peucang.
Perayaan malam tahun baru sendiri dirayain sederhaa sama BBQ dan kembang api bareng wisatawan lain di Peucang. Keesokan harinya, masih ada waktu untuk snorkling. Untuk pulangnya, teman yang bule udah kapok ngebayangin untuk naik kapal selama 3-4 jam dengan ombak segede gaban. Tapi begitu dikasih tau kalo jalan kaki butuh waktu seminggu akhirnya dia nyerah juga. Tujuan selanjutnya Handeuleum, tujuannya canoeing. Eh, ujung-ujungnya batal juga karena hujan deras menyerang di tengah perjalanan. Jadilah perjalanan ini sebenarnya cuma ngabisin waktu buat pengangguran seperti gw. Nggak ketemu badak juga yang jadi ikon Taman Nasional Ujung Kulon.
Perjalanan yang kedua sebenarnya nggak sejauh perjalanan pertama. Awalnya gara-gara diajak untuk ikut bantuin bencana banjir di Pandeglang. Setelah kumpul di kantor relawan di Ciputat, gw dan 5 orang lainnya berangkat ke Pandeglang cuma modal alamat. Dengan modal Blackberry map juga akhirnya setelah 4 jam nyampe juga di Desa Pagelaran, Pandeglang. Desa ini itungannya udah jau banget dari Jakarta, dekat dengan pantai Labuan. Dari yang awalnya cuma rencana pulang balik sehari, ujung-ujungnya jadi nginep karena akses ke tempat bencana yang masih tinggi ditutup banjir. Oiya, jangan lupa kalo ke daerah Labuan mampir ke rumah makan Bu Entin yang spesialis otak-otak tenggiri, dijamin nggak bakal nyesel. Begitulah, wisata kuliner tetap harus dilakuin walau ada bencana sekalipun.
Keesokan harinya dengan mobil 4WD, banjir itu bisa juga ditembus. Kasihan memang, banyak warga yang masih belum tersentuh bantuan logistik ataupun medis. Sebenarnya para relawan masih butuh tim medis untuk bantuan selama seminggu ke depan, namun apa daya karena masih ada keperluan di Jakarta keesokan harinya kami harus pulang. Banyak cerita-cerita heroik warga di balik bencana banjir ini.
Begitulah rangkuman perjalanan gw ke ujung barat Jawa kemarin. In conclusion, akibat perjalanan sebelumnya yang ke Flores, sekilas Ujung Kulon jadi nggak terlalu bagus menurut gw. Tapi yang mau mencoba terisolasi dengan jarak relatif dekat dari Jakarta, destinasi ini dapat dicoba.
Tuesday, January 15, 2013
Flores: Kanawa
Akhirnya sampai juga di blog terakhir gw di seri Flores ini. Seperti yang udah diceritain di blog sebelumnya, tujuan terakhir setelah berpulang dari Taman Nasional Komodo adalah Pulau Kanawa, sebuah pulau kecil yang ada di tengah Selat Sape. Pulau ini sebenernya nggak berpenghuni, hanya aja ada 1 resort di sini yang dikelola sama orang Italia, jadilah pulau ini terkenal hingga ke luar negeri. Selain Kanawa ada juga pulau resort lain yang namanya Sebayur, dengan pelayanan yang lebih bagus tapi harga yang tentunya lebih 'bagus' juga. Ukuran pulaunya sendiri sebenernya nggak gede-gede amat, cukup bisa dikelilingi dalam waktu beberapa jam, walaupun gw sendiri nggak pernah nyoba untuk ngelilingi pulau.
Yang membuat wisatawan, terutama bule, datang ke Kanawa adalah kehidupan bawah airnya. Spot snorkeling Kanawa disebut-sebut sebagai spot terbaik se-Asia Tenggara. Gimana nggak? Kalo ngelihat di map pulau yang ada di restoran resort, kita bisa menemukan spot lionfish, manta, penyu, hiu karang (reef shark) di sekitar pulau. Begitu datang ke jetty Kanawa aja, kita bisa ngelihat ratusan ikan dan koral di dalam laut karena airnya yang jernih.
Menginap di Kanawa berarti bersiap untuk terisolasi dari dunia luar. Karena memang itulah tujuan sebagian orang-orang untuk menghabiskan waktu di sini: bermalas-malasan, bersantai menikmati hidup, melupakan urusan di daerah asal masing-masing, dsb. Dengan fasilitas resort yang sederhana namun nyaman semua wisatawan dijamin betah apalagi kalo menghabiskan waktu di laut seharian tiap hari. Penginapan di resort ini ada 3 macem pilihan tergantung bujet: cottage, bale-bale, dan tenda. Karena rombongan kami berempat sehingga bisa menghemat bujet, kami memilih cottage dengan 2 extra bed. Kami juga nggak nanggung-nanggung untuk nginap 2 malam di sini dengan pertimbangan untuk menghabiskan waktu 1 hari penuh di Kanawa.
Apa yang bisa dilakukan? Snorkling all the day. Itu yang gw lakukan. Snorkling paling gampang bisa dilakukan di sekitar jetty, di mana di situ ada keluarga lionfish yang hidup dengan damai. Wilayah cakupan snorkling bisa diperluas dari jetty, cukup banyak jenis-jenis ikan yang dilihat di sini walaupun gw nggak menemukan penyu. Secara umum, koleksi ikan di sini memang lebih hebat di antara spot-spot lainnya selama di Flores, cuma keindahan koralnya masih kalah sama Pink Beach. Daerah snorkling yang gw telusuri juga adalah di laut di depan deretan cottage, di mana banyak rumput laut sambil berharap nemuin penyu tapi akhirnya juga nggak ketemu, sama di daerah hutan bakau dekat bale-bale, yang katanya bisa nemuin hiu karang tapi akhirnya nggak ketemu juga. Bagi pecinta diving, seperti teman-teman gw lainnya, ada Kanawa Island Diving Center yang bisa memfasilitasi hobi. Gw nggak diving karena selain menghemat bujet, nggak punya sertifikat, dan juga punya trauma dengan diving pertama yang bisa dibaca di sini. Teman-teman gw pun sial karena belum pada ujian akhir sertifikat diving, beda sertifikasi, dan akhirnya cuma bisa diving discovery di sekitar pulau. Padahal perairan Komodo adalah salah satu daerah dengan spot diving paling beragam tapi juga terkenal arusnya yang kencang. Selain snorkling dan diving, kegiatan laut yang bisa dicoba adalah canoeing.
Kalo nggak suka laut apa yang bisa dilakukan? Bermalas-malasan. Beruntung tiap cottage punya hammock untuk gegoleran. Jadi disarankan buat yang nggak suka laut untuk bawa bahan bacaan sebanyak mungkin atau mungkin cari inspirasi. Kalo nggak suka baca gimana dong? Bisa dengan trekking keliling pulau atau naik ke bukit puncak di Kanawa. Panorama sunset di Kanawa termasuk yang paling bagus di antara tempat-tempat yang pernah gw kunjungi. Atau main voli pantai secara gratis di lapangan voli depan restoran. Kalo bener-bener nggak mau ngapa-ngapain? Bisa mainan sama anjing yang namanya Deco. Kalo nggak suka binatang? Makan enak di restoran resort, tapi tentu harus siap dengan bujet berlebih juga karena harganya yang sama kayak harga Jakarta. Kalo males juga? Mending nggak usah datang deh ke pulau ini.
Ini beberapa petunjuk untuk siap-siap menginap di Kanawa:
- Booking penginapan lebih dulu lewat kantor perwakilannya yang ada di Labuan Bajo atau langsung telepon
- Siap-siap bawa uang berlebih sejak meninggalkan Labuanbajo. Nggak ada ATM seperti di Gili Trawangan dan resort nggak menerima kartu kredit. Apalagi kalo mau menikmati makan di restorannya, suasananya malam hari benar-benar menyenangkan.
- Kalo bisa, bawa snorkel set sendiri. Atau kalo nggak memungkinkan, udah booking dari pertama datang ke pulau karena stok untuk peminjamannya dikit.
- Pulang pergi Labuanbajo-Kanawa bisa gratis. Jadwal Kanawa-Labuanbajo berangkat jam 8 pagi, sementara sebaliknya berangkat jam 12 siang.
- Bawa snack dan 'Ruteng' (merk air mineral lokal) secukupnya. Pasti nggak nyesel.
- Bawa powerbank buat yang masih ingin terkoneksi dengan dunia luar. Listrik cuma ada malam hari. Sinyal provider merah dan kuning kadang-kadang ada.
Sekian seri Flores dari gw, dan tetap makan-makan, tetap jalan-jalan!
Yang membuat wisatawan, terutama bule, datang ke Kanawa adalah kehidupan bawah airnya. Spot snorkeling Kanawa disebut-sebut sebagai spot terbaik se-Asia Tenggara. Gimana nggak? Kalo ngelihat di map pulau yang ada di restoran resort, kita bisa menemukan spot lionfish, manta, penyu, hiu karang (reef shark) di sekitar pulau. Begitu datang ke jetty Kanawa aja, kita bisa ngelihat ratusan ikan dan koral di dalam laut karena airnya yang jernih.
Menginap di Kanawa berarti bersiap untuk terisolasi dari dunia luar. Karena memang itulah tujuan sebagian orang-orang untuk menghabiskan waktu di sini: bermalas-malasan, bersantai menikmati hidup, melupakan urusan di daerah asal masing-masing, dsb. Dengan fasilitas resort yang sederhana namun nyaman semua wisatawan dijamin betah apalagi kalo menghabiskan waktu di laut seharian tiap hari. Penginapan di resort ini ada 3 macem pilihan tergantung bujet: cottage, bale-bale, dan tenda. Karena rombongan kami berempat sehingga bisa menghemat bujet, kami memilih cottage dengan 2 extra bed. Kami juga nggak nanggung-nanggung untuk nginap 2 malam di sini dengan pertimbangan untuk menghabiskan waktu 1 hari penuh di Kanawa.
Apa yang bisa dilakukan? Snorkling all the day. Itu yang gw lakukan. Snorkling paling gampang bisa dilakukan di sekitar jetty, di mana di situ ada keluarga lionfish yang hidup dengan damai. Wilayah cakupan snorkling bisa diperluas dari jetty, cukup banyak jenis-jenis ikan yang dilihat di sini walaupun gw nggak menemukan penyu. Secara umum, koleksi ikan di sini memang lebih hebat di antara spot-spot lainnya selama di Flores, cuma keindahan koralnya masih kalah sama Pink Beach. Daerah snorkling yang gw telusuri juga adalah di laut di depan deretan cottage, di mana banyak rumput laut sambil berharap nemuin penyu tapi akhirnya juga nggak ketemu, sama di daerah hutan bakau dekat bale-bale, yang katanya bisa nemuin hiu karang tapi akhirnya nggak ketemu juga. Bagi pecinta diving, seperti teman-teman gw lainnya, ada Kanawa Island Diving Center yang bisa memfasilitasi hobi. Gw nggak diving karena selain menghemat bujet, nggak punya sertifikat, dan juga punya trauma dengan diving pertama yang bisa dibaca di sini. Teman-teman gw pun sial karena belum pada ujian akhir sertifikat diving, beda sertifikasi, dan akhirnya cuma bisa diving discovery di sekitar pulau. Padahal perairan Komodo adalah salah satu daerah dengan spot diving paling beragam tapi juga terkenal arusnya yang kencang. Selain snorkling dan diving, kegiatan laut yang bisa dicoba adalah canoeing.
Kalo nggak suka laut apa yang bisa dilakukan? Bermalas-malasan. Beruntung tiap cottage punya hammock untuk gegoleran. Jadi disarankan buat yang nggak suka laut untuk bawa bahan bacaan sebanyak mungkin atau mungkin cari inspirasi. Kalo nggak suka baca gimana dong? Bisa dengan trekking keliling pulau atau naik ke bukit puncak di Kanawa. Panorama sunset di Kanawa termasuk yang paling bagus di antara tempat-tempat yang pernah gw kunjungi. Atau main voli pantai secara gratis di lapangan voli depan restoran. Kalo bener-bener nggak mau ngapa-ngapain? Bisa mainan sama anjing yang namanya Deco. Kalo nggak suka binatang? Makan enak di restoran resort, tapi tentu harus siap dengan bujet berlebih juga karena harganya yang sama kayak harga Jakarta. Kalo males juga? Mending nggak usah datang deh ke pulau ini.
Ini beberapa petunjuk untuk siap-siap menginap di Kanawa:
- Booking penginapan lebih dulu lewat kantor perwakilannya yang ada di Labuan Bajo atau langsung telepon
- Siap-siap bawa uang berlebih sejak meninggalkan Labuanbajo. Nggak ada ATM seperti di Gili Trawangan dan resort nggak menerima kartu kredit. Apalagi kalo mau menikmati makan di restorannya, suasananya malam hari benar-benar menyenangkan.
- Kalo bisa, bawa snorkel set sendiri. Atau kalo nggak memungkinkan, udah booking dari pertama datang ke pulau karena stok untuk peminjamannya dikit.
- Pulang pergi Labuanbajo-Kanawa bisa gratis. Jadwal Kanawa-Labuanbajo berangkat jam 8 pagi, sementara sebaliknya berangkat jam 12 siang.
- Bawa snack dan 'Ruteng' (merk air mineral lokal) secukupnya. Pasti nggak nyesel.
- Bawa powerbank buat yang masih ingin terkoneksi dengan dunia luar. Listrik cuma ada malam hari. Sinyal provider merah dan kuning kadang-kadang ada.
Sekian seri Flores dari gw, dan tetap makan-makan, tetap jalan-jalan!
Friday, January 11, 2013
Flores: Komodo & Rinca
Oke, balik lagi ke topik Flores. Jadi, obyek wisata utama kalo ke Labuanbajo nggak lain dan nggak bukan pastinya Taman Nasional Komodo. Taman nasional ini terdiri atas 3 pulau gede: Komodo, Rinca, dan Padar, dan pastinya di dalamnya ada si komo. Disarankan, begitu nyampe ke Labuanbajo, langsung cari kapal nelayan untuk nganter ke kepulauan itu, tentunya kalo Anda nggak punya yacht pribadi sendiri. Penyewaan ini bisa dicari di sekitar pelabuhan atau di sekitar pasar ikan. Kami sih kemarin beruntung dapat kapal sewaan di sore hari, berkat bantuan supir travel, dengan harga yang relatif murah. Mungkin harga sekarang adalah minimal 2 juta rupiah per kapal untuk 2 hari 1 malam trip di kapal udah termasuk 4 kali makan besar. Berangkat biasanya pagi hari sehingga kami harus menginap dulu semalam di Labuanbajo.
Trip taman nasional dimulai jam 8 pagi di pelabuhan Labuanbajo. Kami menaiki kapal KM Tokek, lengkap dengan logo tokek di lambungnya. Disarankan sih bawa minum-minuman manis dan cemilan sebelum berangkat, selebihnya konsumsi udah dijamin sama awak kapal. Kecuali kalo ingin pulangnya didrop di salah satu pulau di kepulauan Komodo, bukannya di Labuanbajo lagi, tentu harus bawa konsumsi berlebih dan uang yang cukup. Pelabuhan Labuanbajo sendiri lumayan rame dengan kapal-kapal wisata dan juga kapal phinisi. Begitu kapal mulai keluar dari pelabuhan, barulah kelihatan indahnya Selat Sape.
Beruntung Selat Sape hari itu nggak terlalu berangin, sehingga ombaknya juga tenang-tenang aja. Kapal yang kami naiki ini juga sangat nyaman, ada kursi dan meja untuk ngobrol dan makan di haluan, sementara di buritan ada tingkat 2 yang bisa buat tidur dengan matras, bantal, dan guling. Jadi untuk kenyamanan tidur pasti terjamin walaupun ada hujan gede atau ombak yang tinggi. Di buritan juga ada toilet dengan air tawar, ruangan awak, dan dapur. Butuh sekitar 2-3 jam buat nyampe ke tujuan pertama yaitu Loh Buaya di Pulau Rinca. Kata orang sih, komodo lebih banyak ditemuin di Pulau Rinca karena ukurannya yang lebih kecil. Loh Buaya adalah dermaga pusat kegiatan ranger di Pulau Rinca. Di situ wajib lapor dan juga bayar tiket masuk ke taman nasional. Di sini kita bisa trekking dengan 3 variasi jalur, yaitu pendek, menengah, dan panjang. Berhubung kami masih muda-muda tentu malu kalo milih pendek, tapi berhubung waktu yang tersedia terbatas, jadi kami milih yang menengah aja *alesan. Oke, kami cukup beruntung di Rinca bisa ngelihat si komo yang lagi di alam liar, nggak cuma melulu yang nongkrong di bawah rumah panggung. Satu hal lagi yang mengganggu kalo di sini adalah jumlah wisatawan domestiknya masih dikit banget, kalah sama wisatawan mancanegara. Selepas keliling jalur, trekking dilanjutkan naik ke bukit panorama untuk lihat Loh Buaya dari atas. Kayaknya ini adalah foto panorama wajib kalo berkunjung ke kepulauan Komodo. Di pulau ini juga kami bertemu lagi sama turis Swiss yang sebelumnya ketemu di Wae Rebo.
Selepas dari Rinca, perjalanan dilanjutkan ke Pulau Komodo, tepatnya ke pantainya yang terkenal: Pink Beach. Yang nggak disangka-sangka, selepas trekking kami disajikan minuman dingin jus pisang+nanas oleh awak kapal. Kayaknya perjalanan ini makanannya paling terjamin selama kami berada di Flores. Pink Beach sebenernya cuma pantai kecil di pesisir Pulau Komodo, hanya aja pasirnya terkenal berwarna merah muda. Di sini kapal nggak boleh pasang jangkar, karena atraksi utamanya, selain pasir merah muda tentunya, adalah taman lautnya. Boleh dibilang, selama trip ke Flores ini, koral di Pink Beach adalah yang paling bagus, warna-warnanya bergradasi ada yang merah, biru, hijau, dll. Ikan clownfish? Udah biasa. Starfish? Bertebaran. Bahkan gw bisa nemuin ular laut di sini. Sayang, snorkling di Pink Beach kemarin terganggu sama cuaca hujan dan juga serangan ubur-ubur kecil yang bikin gatel seluruh badan. Menjelang senja, baru kami selasai snorkling di sini. Bisa dibilang, kunjungan ke Pink Beach itu wajib. Titik.
Menginap malam itu dihabiskan di atas kapal yang melabuhkan jangkar di Teluk Kalong. Katanya sih, kalo sunset bisa ngelihat ribuan kelelawar terbang dari Pulau Komodo. Tapi saat itu kami nggak ngelihat. No problemo. Snack sore dan makan malam udah disajikan sama awak kapal, sinyal HP yang hilang selepas jam 7 malam, dan pemandangan kapal-kapal serupa dan juga Desa Komodo di kejauhan udah bikin malam itu menyenangkan. Selepas makan yang enak, gw juga minta ke awak kapal buat nyoba mancing malam-malam di atas kapal. Lumayan, teman gw bisa dapat 2 ikan yang bisa dimakan esok paginya. Akumulasi senang dan capek bikin tidur nyenyak.
Keesokan pagi, setelah sarapan, kapal menuju ke Loh Liang di Pulau Komodo. Sama seperti Loh Buaya, Loh Liang adalah pusat kegiatan ranger di Pulau Komodo. Pilihan trekking-nya lebih banyak, karena Pulau Komodo juga ukurannya lebih gede. Seperti biasa, kami pilih jalur trekking menengah. Nggak seperti di Rinca, susah untuk ketemu si komo di Komodo. Yang banyak justru rusa, babi hutan, dan pohon-pohon yang mungkin baru gw tau untuk pertama kalinya. Perjalanannya juga panjang banget: melintasi hutan, melintasi sabana, naik bukit, turun bukit, lewat jalan berbatu, menyeberang sungai kering, dan lainnya. Hal yang paling ngeselin adalah, begitu nyampe di bukit Sulphurea Hill dengan capek, di atas malah ada papan reklame provider merah dengan gedenya menghalangi pemandangan. Memang biasa, kata si ranger, reklame itu jadi sasaran jumroh wisatawan-wisatawan yang kesel. Setelah turun-naik bukit lagi, akhirnya sampai juga di basecamp Loh Liang lagi. Di dekat dermaga ada toko oleh-oleh Komodo bagi yang berminat. Selepas dari sana kami ke kapal dan disuguhi jus lagi.
Setelah itu, kami berniat ke Manta Point untuk snorkling dengan ikan manta (pari). Cuaca sangat cerah, ombak juga tenang, cuma arus aja yang agak mayan. Begitu nyampe di tempatnya, luar biasa! Beberapa manta udah menyambut dengan renang dekat dengan permukaan. Saking nggak sabarnya, kami langsung ngambil snorkling set dan nyebur. Oh, menyenangkan! Kadang-kadang manta ada di depan, kadang-kadang di samping, kadang-kadang juga nongol langsung di bawah kita. Gw sih berharap aja nggak ada ubur-ubur lagi yang menyerang seperti di Pink Beach. Berhubung di sini nggak perlu diving untuk ketemu sama manta, maka snorkling di Manta Point adalah poin wajib selanjutnya kalo berkunjung ke sana.
Sebenernya ada obyek selanjutnya yang nggak kalah menarik, yaitu Gili Laba. Pulau ini harus dilalui dengan trekking sampai ke puncaknya baru kemudian dapat panorama selat yang luar biasa. Cuma sayang, tempatnya terlalu jauh untuk paket yang kami jalani, sehingga siang itu kami harus segera pulang ke Labuanbajo. Sebenernya kami nggak akan ke Labuanbajo, tapi minta didrop di Pulau Kanawa, sekitar 1 jam dari Labuanbajo. Pulau Kanawa ini akan gw ceritakan di blog selanjutnya.
Intinya, luangkanlah waktu untuk berkunjung ke Taman Nasional Komodo. Sungguh, worth it!
Subscribe to:
Posts (Atom)